Free Professional Blogger Template : Daily Inspired and True Elegance Blogger Template

This item was filled under

Fiuh…. selama 3 hari ini, saya dipusingkan dengan template blog ini, dan akhirnya sekarang udah hampir selesai acara utak atiknya, sebelum memakai template (True Elegance Blogger Template) yang saya gunakan ini, saya sempat tertarik dengan template megazine buatan Antonio lupetti yang bernama "Daily Inspired".

Berniat ingin menggunakan template ini, saya langsung aja mendownload template ini dengan perasaan yang berbunga bunga... Tapi saya sungguh kecewa setelah berhasil mendownload template ini, ternyata file hasil downloadnya berupa HTML dan tidak berupa file xml.

Insruksional dari sang pembuat template sendiri sudah dijelaskan, template ini harus diedit dengan menggunakan Dreamweaver, kata si pembuat template begini…

You can download this template (an html file you can customize quickly using, for example, Dreamweaver) at the following link but, first to use it on your blog…

This is an highly customized Blogger template which I suggest to use only if you have familiarity with HTML, CSS and Blogger

Nah lo..  wong saya ndak punya family yang bernama HTML, CSS.. mana bisa saya menggunakan template ini..

Padahal saya kebelet banget untuk pakai template ini, stylenya yang megazine banget, designnya yang rapi, plus fitur fitur yang menggoda..*Ngiler…….

Mungkin ada dari para suhu suhu yang sudi mengkonvertkan template ini ke xml untuk saya??

Daily Inspired Blogger Template

DEMO | DOWNLOAD

 

 

True Elegance Blogger Template

Setelah kecewa karena ndak bisa menggunakan template dari Antonio lupetti, saya iseng browsing2 lagi lewat mbah google, Secara nggak sengaja saya nyasar di blognya Hajunik, dan menemukan template True Elegance buatan dari dia sendiri yang baru saja dirilis.

akhirnya rasa kecewa saya terobati sudah……

Template ini berasal dari wordpress theme yang digunakan customthemedesign.com yang sudah diconvert menjadi blogger template.  sebenarnya template ini pernah diconvert oleh gosublogger templatenya bernama vibrant blogger template, tapi menurut saya ndak mirip dengan aslinya, dibawah mungkin ada screenshotnya untuk perbandingan.

Fitur dari template True Elegance

  • 3 coloumn blogger template
  • 2 menu tab diatas dan dibawah header
  • Recent post, recent comment dan tags label dibawah menu tab kedua
  • 125x125 ruang iklan di sidebar
  • ready Most Commented widget
  • Ready Readmore function
  • Warna template yang Coft banget

 

DEMO | DOWNLOAD

 

 

Perbandingannya dengan template terdahulu ciptaannya gosublogger....

 

Vibrant Blogger XML Template

DEMO | DOWNLOAD

[+/-] Selengkapnya...

Konsep dasar Nyeri

This item was filled under

Pengertian nyeri

Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007).

Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan

Fisiologi nyeri

Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor, secara anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada juga yang tidak bermielin dari syaraf perifer.

Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa bagaian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan pada daerah viseral, karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda.

Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan. Reseptor jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu :

a. Reseptor A delta

Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30 m/det) yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila penyebab nyeri dihilangkan

b. Serabut C

Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det) yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi

Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang terdapat pada tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga lainnya. Karena struktur reseptornya komplek, nyeri yang timbul merupakan nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi.

Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi organ-organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang timbul pada reseptor ini biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi sangat sensitif terhadap penekanan, iskemia dan inflamasi.

Teori Pengontrolan nyeri (Gate control theory)

Terdapat berbagai teori yang berusaha menggambarkan bagaimana nosireseptor dapat menghasilkan rangsang nyeri. Sampai saat ini dikenal berbagai teori yang mencoba menjelaskan bagaimana nyeri dapat timbul, namun teori gerbang kendali nyeri dianggap paling relevan (Tamsuri, 2007)

Teori gate control dari Melzack dan Wall (1965) mengusulkan bahwa impuls nyeri dapat diatur atau dihambat oleh mekanisme pertahanan di sepanjang sistem saraf pusat. Teori ini mengatakan bahwa impuls nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka dan impuls dihambat saat sebuah pertahanan tertutup. Upaya menutup pertahanan tersebut merupakan dasar teori menghilangkan nyeri.

Suatu keseimbangan aktivitas dari neuron sensori dan serabut kontrol desenden dari otak mengatur proses pertahanan. Neuron delta-A dan C melepaskan substansi C melepaskan substansi P untuk mentranmisi impuls melalui mekanisme pertahanan. Selain itu, terdapat mekanoreseptor, neuron beta-A yang lebih tebal, yang lebih cepat yang melepaskan neurotransmiter penghambat. Apabila masukan yang dominan berasal dari serabut beta-A, maka akan menutup mekanisme pertahanan. Diyakini mekanisme penutupan ini dapat terlihat saat seorang perawat menggosok punggung klien dengan lembut. Pesan yang dihasilkan akan menstimulasi mekanoreseptor, apabila masukan yang dominan berasal dari serabut delta A dan serabut C, maka akan membuka pertahanan tersebut dan klien mempersepsikan sensasi nyeri. Bahkan jika impuls nyeri dihantarkan ke otak, terdapat pusat kortek yang lebih tinggi di otak yang memodifikasi nyeri. Alur saraf desenden melepaskan opiat endogen, seperti endorfin dan dinorfin, suatu pembunuh nyeri alami yang berasal dari tubuh. Neuromedulator ini menutup mekanisme pertahanan dengan menghambat pelepasan substansi P. tehnik distraksi, konseling dan pemberian plasebo merupakan upaya untuk melepaskan endorfin (Potter, 2005)

Respon Psikologis

respon psikologis sangat berkaitan dengan pemahaman klien terhadap nyeri yang terjadi atau arti nyeri bagi klien.

Arti nyeri bagi setiap individu berbeda-beda antara lain :

1) Bahaya atau merusak

2) Komplikasi seperti infeksi

3) Penyakit yang berulang

4) Penyakit baru

5) Penyakit yang fatal

6) Peningkatan ketidakmampuan

7) Kehilangan mobilitas

8) Menjadi tua

9) Sembuh

10) Perlu untuk penyembuhan

11) Hukuman untuk berdosa

12) Tantangan

13) Penghargaan terhadap penderitaan orang lain

14) Sesuatu yang harus ditoleransi

15) Bebas dari tanggung jawab yang tidak dikehendaki

Pemahaman dan pemberian arti nyeri sangat dipengaruhi tingkat pengetahuan, persepsi, pengalaman masa lalu dan juga faktor sosial budaya

Respon fisiologis terhadap nyeri

1) Stimulasi Simpatik:(nyeri ringan, moderat, dan superficial)

a) Dilatasi saluran bronkhial dan peningkatan respirasi rate

b) Peningkatan heart rate

c) Vasokonstriksi perifer, peningkatan BP

d) Peningkatan nilai gula darah

e) Diaphoresis

f) Peningkatan kekuatan otot

g) Dilatasi pupil

h) Penurunan motilitas GI

2) Stimulus Parasimpatik (nyeri berat dan dalam)

a) Muka pucat

b) Otot mengeras

c) Penurunan HR dan BP

d) Nafas cepat dan irreguler

e) Nausea dan vomitus

f) Kelelahan dan keletihan

Respon tingkah laku terhadap nyeri

1) Respon perilaku terhadap nyeri dapat mencakup:

2) Pernyataan verbal (Mengaduh, Menangis, Sesak Nafas, Mendengkur)

3) Ekspresi wajah (Meringis, Menggeletukkan gigi, Menggigit bibir)

4) Gerakan tubuh (Gelisah, Imobilisasi, Ketegangan otot, peningkatan gerakan jari & tangan

5) Kontak dengan orang lain/interaksi sosial (Menghindari percakapan, Menghindari kontak sosial, Penurunan rentang perhatian, Fokus pd aktivitas menghilangkan nyeri)

Individu yang mengalami nyeri dengan awitan mendadak dapat bereaksi sangat berbeda terhadap nyeri yang berlangsung selama beberapa menit atau menjadi kronis. Nyeri dapat menyebabkan keletihan dan membuat individu terlalu letih untuk merintih atau menangis. Pasien dapat tidur, bahkan dengan nyeri hebat. Pasien dapat tampak rileks dan terlibat dalam aktivitas karena menjadi mahir dalam mengalihkan perhatian terhadap nyeri.

Meinhart & McCaffery mendiskripsikan 3 fase pengalaman nyeri:

1) Fase antisipasi (terjadi sebelum nyeri diterima)

Fase ini mungkin bukan merupakan fase yg paling penting, karena fase ini bisa mempengaruhi dua fase lain. Pada fase ini memungkinkan seseorang belajar tentang nyeri dan upaya untuk menghilangkan nyeri tersebut. Peran perawat dalam fase ini sangat penting, terutama dalam memberikan informasi pada klien.

2) Fase sensasi (terjadi saat nyeri terasa)

Fase ini terjadi ketika klien merasakan nyeri. karena nyeri itu bersifat subyektif, maka tiap orang dalam menyikapi nyeri juga berbeda-beda. Toleraransi terhadap nyeri juga akan berbeda antara satu orang dengan orang lain. orang yang mempunyai tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri tidak akan mengeluh nyeri dengan stimulus kecil, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah akan mudah merasa nyeri dengan stimulus nyeri kecil. Klien dengan tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri mampu menahan nyeri tanpa bantuan, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah sudah mencari upaya mencegah nyeri, sebelum nyeri datang.

Keberadaan enkefalin dan endorfin membantu menjelaskan bagaimana orang yang berbeda merasakan tingkat nyeri dari stimulus yang sama. Kadar endorfin berbeda tiap individu, individu dengan endorfin tinggi sedikit merasakan nyeri dan individu dengan sedikit endorfin merasakan nyeri lebih besar.

Klien bisa mengungkapkan nyerinya dengan berbagai jalan, mulai dari ekspresi wajah, vokalisasi dan gerakan tubuh. Ekspresi yang ditunjukan klien itulah yang digunakan perawat untuk mengenali pola perilaku yang menunjukkan nyeri. Perawat harus melakukan pengkajian secara teliti apabila klien sedikit mengekspresikan nyerinya, karena belum tentu orang yang tidak mengekspresikan nyeri itu tidak mengalami nyeri. Kasus-kasus seperti itu tentunya membutuhkan bantuan perawat untuk membantu klien mengkomunikasikan nyeri secara efektif.

3) Fase akibat (terjadi ketika nyeri berkurang atau berhenti)

Fase ini terjadi saat nyeri sudah berkurang atau hilang. Pada fase ini klien masih membutuhkan kontrol dari perawat, karena nyeri bersifat krisis, sehingga dimungkinkan klien mengalami gejala sisa pasca nyeri. Apabila klien mengalami episode nyeri berulang, maka respon akibat (aftermath) dapat menjadi masalah kesehatan yang berat. Perawat berperan dalam membantu memperoleh kontrol diri untuk meminimalkan rasa takut akan kemungkinan nyeri berulang.

Faktor yang mempengaruhi respon nyeri

1) Usia

Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami kerusakan fungsi. Pada lansia cenderung memendam nyeri yang dialami, karena mereka mengangnggap nyeri adalah hal alamiah yang harus dijalani dan mereka takut kalau mengalami penyakit berat atau meninggal jika nyeri diperiksakan.

2) Jenis kelamin

Gill (1990) mengungkapkan laki-laki dan wnita tidak berbeda secara signifikan dalam merespon nyeri, justru lebih dipengaruhi faktor budaya (ex: tidak pantas kalo laki-laki mengeluh nyeri, wanita boleh mengeluh nyeri).

3) Kultur

Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka berespon terhadap nyeri misalnya seperti suatu daerah menganut kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat yang harus diterima karena mereka melakukan kesalahan, jadi mereka tidak mengeluh jika ada nyeri.

4) Makna nyeri

Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang terhadap nyeri dan dan bagaimana mengatasinya.

5) Perhatian

Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat mempengaruhi persepsi nyeri. Menurut Gill (1990), perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya distraksi dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun. Tehnik relaksasi, guided imagery merupakan tehnik untuk mengatasi nyeri.

6) Ansietas

Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan seseorang cemas.

7) Pengalaman masa lalu

Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat ini nyeri yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi nyerinya. Mudah tidaknya seseorang mengatasi nyeri tergantung pengalaman di masa lalu dalam mengatasi nyeri.

8) Pola koping

Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri dan sebaliknya pola koping yang maladaptive akan menyulitkan seseorang mengatasi nyeri.

9) Support keluarga dan sosial

Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan dan perlindungan

Intensitas Nyeri

Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling mungkin adalah menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran dengan tehnik ini juga tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri (Tamsuri, 2007).

Menurut smeltzer, S.C bare B.G (2002) adalah sebagai berikut :

1) skala intensitas nyeri deskritifskala intensitas nyeri deskritif

2) Skala identitas nyeri numerik

Skala identitas nyeri numerik

3) Skala analog visual

Skala analog visual

4) Skala nyeri menurut bourbanis

Skala nyeri menurut bourbanis

Keterangan :

0 :Tidak nyeri

1-3 : Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat berkomunikasi

dengan baik.

4-6 : Nyeri sedang : Secara obyektif klien mendesis,

menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan baik.

7-9 : Nyeri berat : secara obyektif klien terkadang tidak dapat

mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi

10 : Nyeri sangat berat : Pasien sudah tidak mampu lagi

berkomunikasi, memukul.

Karakteristik paling subyektif pada nyeri adlah tingkat keparahan atau intensitas nyeri tersebut. Klien seringkali diminta untuk mendeskripsikan nyeri sebagai yang ringan, sedang atau parah. Namun, makna istilah-istilah ini berbeda bagi perawat dan klien. Dari waktu ke waktu informasi jenis ini juga sulit untuk dipastikan.

Skala deskritif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih obyektif. Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS) merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis. Pendeskripsi ini diranking dari “tidak terasa nyeri” sampai “nyeri yang tidak tertahankan”. Perawat menunjukkan klien skala tersebut dan meminta klien untuk memilih intensitas nyeri trbaru yang ia rasakan. Perawat juga menanyakan seberapa jauh nyeri terasa paling menyakitkan dan seberapa jauh nyeri terasa paling tidak menyakitkan. Alat VDS ini memungkinkan klien memilih sebuah kategori untuk mendeskripsikan nyeri. Skala penilaian numerik (Numerical rating scales, NRS) lebih digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, klien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi terapeutik. Apabila digunakan skala untuk menilai nyeri, maka direkomendasikan patokan 10 cm (AHCPR, 1992).

Skala analog visual (Visual analog scale, VAS) tidak melebel subdivisi. VAS adalah suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberi klien kebebasan penuh untuk mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat merupakan pengukuran keparahan nyeri yang lebih sensitif karena klien dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa memilih satu kata atau satu angka (Potter, 2005).

Skala nyeri harus dirancang sehingga skala tersebut mudah digunakan dan tidak mengkomsumsi banyak waktu saat klien melengkapinya. Apabila klien dapat membaca dan memahami skala, maka deskripsi nyeri akan lebih akurat. Skala deskritif bermanfaat bukan saja dalam upaya mengkaji tingkat keparahan nyeri, tapi juga, mengevaluasi perubahan kondisi klien. Perawat dapat menggunakan setelah terapi atau saat gejala menjadi lebih memburuk atau menilai apakah nyeri mengalami penurunan atau peningkatan (Potter, 2005).

 

sumber

Priharjo, R (1993). Perawatan Nyeri, pemenuhan aktivitas istirahat. Jakarta : EGC hal : 87.

Shone, N. (1995). Berhasil Mengatasi Nyeri. Jakarta : Arcan. Hlm : 76-80

Ramali. A. (2000). Kamus Kedokteran : Arti dan Keterangan Istilah. Jakarta : Djambatan.

Syaifuddin. (1997). Anatomi fisiologi untuk siswa perawat.edisi-2. Jakarta : EGC. Hlm : 123-136.

Tamsuri, A. (2007). Konsep dan penatalaksanaan nyeri. Jakarta : EGC. Hlm 1-63

Potter. (2005). Fundamental Keperawatan Konsep, Proses dan Praktik. Jakarta: EGC. Hlm 1502-1533.

[+/-] Selengkapnya...

Tehnik Distraksi

This item was filled under

 Pengertian Tehnik Distraksi

Tehnik distraksi adalah pengalihan dari fokus perhatian terhadap nyeri ke stimulus yang lain. Tehnik distraksi dapat mengatasi nyeri berdasarkan teori bahwa aktivasi retikuler menghambat stimulus nyeri. jika seseorang menerima input sensori yang berlebihan dapat menyebabkan terhambatnya impuls nyeri ke otak (nyeri berkurang atau tidak dirasakan oleh klien),. Stimulus yang menyenangkan dari luar juga dapat merangsang sekresi endorfin, sehingga stimulus nyeri yang dirasakan oleh klien menjadi berkurang. Peredaan nyeri secara umum berhubungan langsung dengan partisipasi aktif individu, banyaknya modalitas sensori yang digunakan dan minat individu dalam stimulasi, oleh karena itu, stimulasi penglihatan, pendengaran dan sentuhan mungkin akan lebih efektif dalam menurunkan nyeri dibanding stimulasi satu indera saja (Tamsuri, 2007).

Jenis Tehnik Distraksi antara lain :

1) Distraksi visual

Melihat pertandingan, menonton televisi, membaca koran, melihat pemandangan dan gambar termasuk distraksi visual.

2) Distraksi pendengaran

Diantaranya mendengarkan musik yang disukai atau suara burung serta gemercik air, individu dianjurkan untuk memilih musik yang disukai dan musik tenang seperti musik klasik, dan diminta untuk berkosentrasi pada lirik dan irama lagu. Klien juga diperbolehkan untuk menggerakkan tubuh mengikuti irama lagu seperti bergoyang, mengetukkan jari atau kaki. (Tamsuri, 2007).

Musik klasik salah satunya adalah musik Mozart. Dari sekian banyak karya musik klasik, sebetulnya ciptaan milik Wolfgang Amadeus Mozart (1756-1791) yang paling dianjurkan. Beberapa penelitian sudah membuktikan, Mengurangi tingkat ketegangan emosi atau nyeri fisik. Penelitian itu di antaranya dilakukan oleh Dr. Alfred Tomatis dan Don Campbell. Mereka mengistilahkan sebagai “Efek Mozart”.

Dibanding musik klasik lainnya, melodi dan frekuensi yang tinggi pada karya-karya Mozart mampu merangsang dan memberdayakan daerah kreatif dan motivatif di otak. Yang tak kalah penting adalah kemurnian dan kesederhaan musik Mozart itu sendiri. Namun, tidak berarti karya komposer klasik lainnya tidak dapat digunakan (Andreana, 2006)

3) Distraksi pernafasan

Bernafas ritmik, anjurkan klien untuk memandang fokus pada satu objek atau memejamkan mata dan melakukan inhalasi perlahan melalui hidung dengan hitungan satu sampai empat dan kemudian menghembuskan nafas melalui mulut secara perlahan dengan menghitung satu sampai empat (dalam hati). Anjurkan klien untuk berkosentrasi pada sensasi pernafasan dan terhadap gambar yang memberi ketenangan, lanjutkan tehnik ini hingga terbentuk pola pernafasan ritmik.

Bernafas ritmik dan massase, instruksi kan klien untuk melakukan pernafasan ritmik dan pada saat yang bersamaan lakukan massase pada bagaian tubuh yang mengalami nyeri dengan melakukan pijatan atau gerakan memutar di area nyeri.

4) Distraksi intelektual

Antara lain dengan mengisi teka-teki silang, bermain kartu, melakukan kegemaran (di tempat tidur) seperti mengumpulkan perangko, menulis cerita.

5) Tehnik pernafasan

Seperti bermain, menyanyi, menggambar atau sembayang

6) Imajinasi terbimbing

Adalah kegiatan klien membuat suatu bayangan yang menyenangkan dan mengonsentrasikan diri pada bayangan tersebut serta berangsur-angsur membebaskan diri dari dari perhatian terhadap nyeri

[+/-] Selengkapnya...

Blogger yang suka Ngumpulin tAHI

This item was filled under ,

Tahi bukan tahi yang itu lo.., tapi tahi itu adalah singkatan dari Tanaman Hias… Yup.., ngumpulin tanaman hias adalah salah satu hobby saya, tapi untuk masa sekarang sudah agak dikurangi kadarnya.

Dulu waktu gila gilanya jalanin hobby ini, setiap minggunya saya mengharuskan punya koleksi tanaman hias jenis baru. entah beli langsung dari pedagang tanaman hias ataupun dari even pameran tanaman hias yang biasanya juga menggelar lomba Tahi.

Ada orang yang heran pada saya,  orang itu bilang “Cek senenge karo kembang”, Ya memang begitulah keyataannya, kalo memang belum pernah merasakan sendiri asyiknya bercocok tanam, orang akan menganggap remeh hobby tersebut. Saya juga berpikiran begitu sebelum akhirnya kepincut sama hobby yang satu ini. Dan jangan salah, penyuka tanaman hias di nusantara ternyata didominasi oleh kaum pria…hi..hi..

Mempuyai Hobby mengkoleksi tanaman hias ini kalo dilihat dari manfaatnya, banyak sekali yang bisa kita diperoleh. Selain penghijauan, juga bisa melatih kesabaran orang, bisa dimanfaatkan menjadi Obat (Sirih merah), ngilangin stress dll.  masih nggak percaya, silahkan dicoba sendiri.. he..he..

Waktunya Narcis nih…

Foto koleksi tamanan hias saya sebenarnya ndak terlalu banyak dan ndak bagus bagus amat, apalagi untuk dipamerin ke teman2, jadi mohon kemaklumannya yach.. he..he..

 

Adenium

Tanaman sukulen yang satu ini pasti udah banyak yang kenal dan banyak yang punya, karena memang mudah dalam perawatannya.

 

Adenium Yelo.. bunga kuning pertama dari hasil silangan…

Adenium Yelo 

EOS… Eye Of Strom, paling rajin dalam urusan berbunga.

Eye Of Strom 

Dan lain lain…. 

Adenium Cielo Adenium menjangan maksaAdenium celonaKoleksi Adenium lainnya

Caladium

Jenis Tanaman ini adalah Favorite bagi saya. Mungkin Karena daunnya yang sangat bervariasi. Tapi tanaman ini juga bisa sangat merepotkan dalam hal perawatannya (Apalagi yang jenis Thailand), kalo salah penempatan saja, bisa langsung Dorman (Tidur sementara).

 

Caladium Jenis Thailand (No Name)

Caladium Jenis Thailand (No Name) Caladium Jenis Thailand (No Name)

Caladium Jenis Thailand (No Name) Keladi kerisCaladium Jenis Thailand (No Name) Caladium Bareti Caladium Jenis Florida

* Halah Lokalan..xixiii

Caladium LokalCaladium Lokal (Tri colour)

Caladium Lokal Caladium Lokal

 

Pachypodium

Kata orang, Pachypodium adalah masih sepupunya Adenium, Menyukai terik matahari dan mudah dalam perawatannya. Namun yang perlu diperhatikan adalah Duri durinya yang sangat tajam.

Pachypodium Lameri

Pachypodium Lameri

Pachypodium Saundersi

Pachypodium Saundersi

Kalo nggak salah ini Pachypodium baroni, masih kecil..

Pachypodium baroni

Aglaonema

Tamanan ini perlu perawatan extra, sama seperti Caladium. tapi beda dalam masalah harganya, lebih mahal oooeey… jadi ndak kuat belinya..dan cuman punya 3 ekor, xixixiii..

 

Aglaonema Pride Of Sumatra (POS)

Aglaonema Pride Of Sumatra (POS) 

 

Aglaonema Lady Valentine

Aglaonema Lady Valentine

 

Aglaonema Golden Lipstick

Aglaonema Golden Lipstick 

 

 

Tanaman hias laennya….

Anthurium jenis Gelombang cinta Gak mutu…

Anthurium jenis Gelombang cinta Gak mutu…"GELCIN"

 

Euphorbia…

Euphorbia Euphorbia PutihEuphorbia

 

Sanseivera gak mutu…

Sanseivera gak mutu

 

Yang terakhir ini jenis bunga yang gak butuh air, pupuk dan hanya cukup dibersihkan saja…

Bunga plastik...xixixiii

Sebenarnya ada lagi tanaman hias lainnya seperti Alokasia, Bromelia, Sirih, Philo, kaktus, rumput, bayam Dll… yang tidak saya tampilkan disini, karena lebih gak mutu lagi dari yang diatas..mungkin laen kali ajah…

 

Mungkin anda juga Blogger yang gemar mengumpulkan TAHI…???

[+/-] Selengkapnya...

ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN FRAKTUR HUMERUS

This item was filled under

A. KONSEP DASAR

1. Pengertian

a Fraktur

Adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, Arif, et al, 2000). Sedangkan menurut Linda Juall C. dalam buku Nursing Care Plans and Dokumentation menyebutkan bahwa Fraktur adalah rusaknya kontinuitas tulang yang disebabkan tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap oleh tulang. Pernyataan ini sama yang diterangkan dalam buku Luckman and Sorensen’s Medical Surgical Nursing.

b Patah Tulang Tertutup

Didalam buku Kapita Selekta Kedokteran tahun 2000, diungkapkan bahwa patah tulang tertutup adalah patah tulang dimana tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. Pendapat lain menyatidakan bahwa patah tulang tertutup adalah suatu fraktur yang bersih (karena kulit masih utuh atau tidak robek) tanpa komplikasi (Handerson, M. A, 1992).

c Patah Tulang Humerus

Adalah diskontinuitas atau hilangnya struktur dari tulang humerus yang terbagi atas :

1) Fraktur Suprakondilar Humerus

2) Fraktur Interkondiler Humerus

3) Fraktur Batang Humerus

4) Fraktur Kolum Humerus

Berdasarkan mekanisme terjadinya fraktur :

1) Tipe Ekstensi

Trauma terjadi ketika siku dalam posisi hiperekstensi, lengan bawah dalam posisi supinasi.

2) Tipe Fleksi

Trauma terjadi ketika siku dalam posisi fleksi, sedang lengan dalam posisi pronasi.

(Mansjoer, Arif, et al, 2000)

d Platting

Adalah salah satu bentuk dari fiksasi internal menggunakan plat yang terletidak sepanjang tulang dan berfungsi sebagai jembatan yang difiksasi dengan sekrup.

Keuntungan :

1) Tercapainya kestabilan dan perbaikan tulang seanatomis mungkin yang sangat penting bila ada cedera vaskuler, saraf, dan lain-lain.

2) Aliran darah ke tulang yang patah baik sehingga mempengaruhi proses penyembuhan tulang.

3) Klien tidak akan tirah baring lama.

4) Kekakuan dan oedema dapat dihilangkan karena bagian fraktur bisa segera digerakkan.

Kerugian :

1) Fiksasi interna berarti suatu anestesi, pembedahan, dan jaringan parut.

2) Kemungkinan untuk infeksi jauh lebih besar.

3) Osteoporosis bisa menyebabkan terjadinya fraktur sekunder atau berulang.

2. Anatomi Dan Fisiologi

a Struktur Tulang

Tulang sangat bermacam-macam baik dalam bentuk ataupun ukuran, tapi mereka masih punya struktur yang sama. Lapisan yang paling luar disebut Periosteum dimana terdapat pembuluh darah dan saraf. Lapisan dibawah periosteum mengikat tulang dengan benang kolagen disebut benang sharpey, yang masuk ke tulang disebut korteks. Karena itu korteks sifatnya keras dan tebal sehingga disebut tulang kompak. Korteks tersusun solid dan sangat kuat yang disusun dalam unit struktural yang disebut Sistem Haversian. Tiap sistem terdiri atas kanal utama yang disebut Kanal Haversian. Lapisan melingkar dari matriks tulang disebut Lamellae, ruangan sempit antara lamellae disebut Lakunae (didalamnya terdapat osteosit) dan Kanalikuli. Tiap sistem kelihatan seperti lingkaran yang menyatu. Kanal Haversian terdapat sepanjang tulang panjang dan di dalamnya terdapat pembuluh darah dan saraf yang masuk ke tulang melalui Kanal Volkman. Pembuluh darah inilah yang mengangkut nutrisi untuk tulang dan membuang sisa metabolisme keluar tulang. Lapisan tengah tulang merupakan akhir dari sistem Haversian, yang didalamnya terdapat Trabekulae (batang) dari tulang.Trabekulae ini terlihat seperti spon tapi kuat sehingga disebut Tulang Spon yang didalam nya terdapat bone marrow yang membentuk sel-sel darah merah. Bone Marrow ini terdiri atas dua macam yaitu bone marrow merah yang memproduksi sel darah merah melalui proses hematopoiesis dan bone marrow kuning yang terdiri atas sel-sel lemak dimana jika dalam proses fraktur bisa menyebabkan Fat Embolism Syndrom (FES).

Tulang terdiri dari tiga sel yaitu osteoblast, osteosit, dan osteoklast. Osteoblast merupakan sel pembentuk tulang yang berada di bawah tulang baru. Osteosit adalah osteoblast yang ada pada matriks. Sedangkan osteoklast adalah sel penghancur tulang dengan menyerap kembali sel tulang yang rusak maupun yang tua. Sel tulang ini diikat oleh elemen-elemen ekstra seluler yang disebut matriks. Matriks ini dibentuk oleh benang kolagen, protein, karbohidrat, mineral, dan substansi dasar (gelatin) yang berfungsi sebagai media dalam difusi nutrisi, oksigen, dan sampah metabolisme antara tulang daengan pembuluh darah. Selain itu, didalamnya terkandung garam kalsium organik (kalsium dan fosfat) yang menyebabkan tulang keras.sedangkan aliran darah dalam tulang antara 200 – 400 ml/ menit melalui proses vaskularisasi tulang (Black,J.M,et al,1993 dan Ignatavicius, Donna. D,1995).

b Tulang Panjang

Adalah tulang yang panjang berbentuk silinder dimana ujungnya bundar dan sering menahan beban berat (Ignatavicius, Donna. D, 1995). Tulang panjang terdiriatas epifisis, tulang rawan, diafisis, periosteum, dan medula tulang. Epifisis (ujung tulang) merupakan tempat menempelnya tendon dan mempengaruhi kestabilan sendi. Tulang rawan menutupi seluruh sisi dari ujung tulang dan mempermudah pergerakan, karena tulang rawan sisinya halus dan licin. Diafisis adalah bagian utama dari tulang panjang yang memberikan struktural tulang. Metafisis merupakan bagian yang melebar dari tulang panjang antara epifisis dan diafisis. Metafisis ini merupakan daerah pertumbuhan tulang selama masa pertumbuhan. Periosteum merupakan penutup tulang sedang rongga medula (marrow) adalah pusat dari diafisis (Black, J.M, et al, 1993)

c Tulang Humerus

Tulang humerus terbagi menjadi tiga bagian yaitu kaput (ujung atas), korpus, dan ujung bawah.

1) Kaput

Sepertiga dari ujung atas humerus terdiri atas sebuah kepala, yang membuat sendi dengan rongga glenoid dari skapla dan merupakan bagian dari banguan sendi bahu. Dibawahnya terdapat bagian yang lebih ramping disebut leher anatomik. Disebelah luar ujung atas dibawah leher anatomik terdapat sebuah benjolan, yaitu Tuberositas Mayor dan disebelah depan terdapat sebuah benjolan lebih kecil yaitu Tuberositas Minor. Diantara tuberositas terdapat celah bisipital (sulkus intertuberkularis) yang membuat tendon dari otot bisep. Dibawah tuberositas terdapat leher chirurgis yang mudah terjadi fraktur.

2) Korpus

Sebelah atas berbentuk silinder tapi semakin kebawah semakin pipih. Disebelah lateral batang, tepat diatas pertengahan disebut tuberositas deltoideus (karena menerima insersi otot deltoid). Sebuah celah benjolan oblik melintasi sebelah belakang, batang, dari sebelah medial ke sebelah lateral dan memberi jalan kepada saraf radialis atau saraf muskulo-spiralis sehingga disebut celah spiralis atau radialis.

3) Ujung Bawah

Berbentuk lebar dan agak pipih dimana permukaan bawah sendi dibentuk bersama tulang lengan bawah. Trokhlea yang terlatidak di sisi sebelah dalam berbentuk gelendong-benang tempat persendian dengan ulna dan disebelah luar etrdapat kapitulum yang bersendi dengan radius. Pada kedua sisi persendian ujung bawah humerus terdapat epikondil yaitu epikondil lateral dan medial. (Pearce, Evelyn C, 1997)

d Fungsi Tulang

1) Memberi kekuatan pada kerangka tubuh.

2) Tempat mlekatnya otot.

3) Melindungi organ penting.

4) Tempat pembuatan sel darah.

5) Tempat penyimpanan garam mineral.

(Ignatavicius, Donna D, 1993)

3. Etiologi

1) Kekerasan langsung

Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan. Fraktur demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah melintang atau miring.

2) Kekerasan tidak langsung

Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.

3) Kekerasan akibat tarikan otot

Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi.

Kekuatan dapat berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan penarikan.

(Oswari E, 1993)

4. Patofisiologi

Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekeuatan dan gaya pegas untuk menahan tekanan (Apley, A. Graham, 1993). Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang (Carpnito, Lynda Juall, 1995). Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai denagn vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya (Black, J.M, et al, 1993)

a. Faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur

1) Faktor Ekstrinsik

Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung terhadap besar, waktu, dan arah tekanan yang dapat menyebabkan fraktur.

2) Faktor Intrinsik

Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan daya tahan untuk timbulnya fraktur seperti kapasitas absorbsi dari tekanan, elastisitas, kelelahan, dan kepadatan atau kekerasan tulang.

( Ignatavicius, Donna D, 1995 )

b. Biologi penyembuhan tulang

Tulang bisa beregenerasi sama seperti jaringan tubuh yang lain. Fraktur merangsang tubuh untuk menyembuhkan tulang yang patah dengan jalan membentuk tulang baru diantara ujung patahan tulang. Tulang baru dibentuk oleh aktivitas sel-sel tulang. Ada lima stadium penyembuhan tulang, yaitu:

1) Stadium Satu-Pembentukan Hematoma

Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma disekitar daerah fraktur. Sel-sel darah membentuk fibrin guna melindungi tulang yang rusak dan sebagai tempat tumbuhnya kapiler baru dan fibroblast. Stadium ini berlangsung 24 – 48 jam dan perdarahan berhenti sama sekali.

2) Stadium Dua-Proliferasi Seluler

Pada stadium initerjadi proliferasi dan differensiasi sel menjadi fibro kartilago yang berasal dari periosteum,`endosteum,dan bone marrow yang telah mengalami trauma. Sel-sel yang mengalami proliferasi ini terus masuk ke dalam lapisan yang lebih dalam dan disanalah osteoblast beregenerasi dan terjadi proses osteogenesis. Dalam beberapa hari terbentuklah tulang baru yang menggabungkan kedua fragmen tulang yang patah. Fase ini berlangsung selama 8 jam setelah fraktur sampai selesai, tergantung frakturnya.

3) Stadium Tiga-Pembentukan Kallus

Sel–sel yang berkembang memiliki potensi yang kondrogenik dan osteogenik, bila diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai membentuk tulang dan juga kartilago. Populasi sel ini dipengaruhi oleh kegiatan osteoblast dan osteoklast mulai berfungsi dengan mengabsorbsi sel-sel tulang yang mati. Massa sel yang tebal dengan tulang yang imatur dan kartilago, membentuk kallus atau bebat pada

permukaan endosteal dan periosteal. Sementara tulang yang imatur (anyaman tulang ) menjadi lebih padat sehingga gerakan pada tempat fraktur berkurang pada 4 minggu setelah fraktur menyatu.

4) Stadium Empat-Konsolidasi

Bila aktivitas osteoclast dan osteoblast berlanjut, anyaman tulang berubah menjadi lamellar. Sistem ini sekarang cukup kaku dan memungkinkan osteoclast menerobos melalui reruntuhan pada garis fraktur, dan tepat dibelakangnya osteoclast mengisi celah-celah yang tersisa diantara fragmen dengan tulang yang baru. Ini adalah proses yang lambat dan mungkin perlu beberapa bulan sebelum tulang kuat untuk membawa beban yang normal.

5) Stadium Lima-Remodelling

Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama beberapa bulan atau tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh proses resorbsi dan pembentukan tulang yang terus-menerus. Lamellae yang lebih tebal diletidakkan pada tempat yang tekanannya lebih tinggi, dinding yang tidak dikehendaki dibuang, rongga sumsum dibentuk, dan akhirnya dibentuk struktur yang mirip dengan normalnya.

(Black, J.M, et al, 1993 dan Apley, A.Graham,1993)

c. Komplikasi fraktur

1) Komplikasi Awal

a) Kerusakan Arteri

Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.

b) Kompartement Syndrom

Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Ini disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang menekan otot, saraf, dan pembuluh darah. Selain itu karena tekanan dari luar seperti gips dan embebatan yang terlalu kuat.

c) Fat Embolism Syndrom

Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering terjadi pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang dihasilkan bone marrow kuning masuk ke aliran darah dan menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai dengan gangguan pernafasan, tachykardi, hypertensi, tachypnea, demam.

d) Infeksi

System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.

e) Avaskuler Nekrosis

Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan adanya Volkman’s Ischemia.

f) Shock

Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur.

2) Komplikasi Dalam Waktu Lama

a) Delayed Union

Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karenn\a penurunan supai darah ke tulang.

b) Nonunion

Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkkonsolidasi dan memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion ditandai dengan adanya pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau pseudoarthrosis. Ini juga disebabkan karena aliran darah yang kurang.

c) Malunion

Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan meningkatnya tingkat kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas). Malunion dilakukan dengan pembedahan dan reimobilisasi yang baik.

(Black, J.M, et al, 1993)

5. Klasifikasi Fraktur

Penampikan fraktur dapat sangat bervariasi tetapi untuk alasan yang praktis , dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu:

a. Berdasarkan sifat fraktur.

1). Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi.

2). Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan kulit.

b. Berdasarkan komplit atau ketidakklomplitan fraktur.

1). Fraktur Komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui kedua korteks tulang seperti terlihat pada foto.

2). Fraktru Inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang seperti:

a) Hair Line Fraktur (patah retidak rambut)

b) Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks dengan kompresi tulang spongiosa di bawahnya.

c) Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi korteks lainnya yang terjadi pada tulang panjang.

c. Berdasarkan bentuk garis patah dan hubbungannya dengan mekanisme trauma.

1). Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.

2). Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap sumbu tulang dan meruakan akibat trauma angulasijuga.

3). Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang disebabkan trauma rotasi.

4). Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang mendorong tulang ke arah permukaan lain.

5). Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot pada insersinya pada tulang.

d. Berdasarkan jumlah garis patah.

1) Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan.

2) Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak berhubungan.

3) Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada tulang yang sama.

e. Berdasarkan pergeseran fragmen tulang.

1). Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap ttetapi kedua fragmen tidak bergeser dan periosteum nasih utuh.

2). Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga disebut lokasi fragmen, terbagi atas:

a) Dislokai ad longitudinam cum contractionum (pergeseran searah sumbu dan overlapping).

b) Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut).

c) Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling menjauh).

f. Fraktur Kelelahan: fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang.

g. Fraktur Patologis: fraktur yang diakibatkan karena proses patologis tulang.

Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:

a. Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa ceddera jaringan lunak sekitarnya.

b. Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan subkutan.

c. Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian dalam dan pembengkakan.

d. Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata ddan ancaman sindroma kompartement.

(Apley, A. Graham, 1993, Handerson, M.A, 1992, Black, J.M, 1995, Ignatavicius, Donna D, 1995, Oswari, E,1993, Mansjoer, Arif, et al, 2000, Price, Sylvia A, 1995, dan Reksoprodjo, Soelarto, 1995)

6. Dampak Masalah

Ditinjau dari anatomi dan patofisiologi diatas, masalah klien yang mungkin timbul terjadi merupakan respon terhadap klien terhadap enyakitnya. Akibat fraktur terrutama pada fraktur hunerus akan menimbulkan dampak baik terhadap klien sendiri maupun keada keluarganya.

a Terhadap Klien

1) Bio

Pada klien fraktur ini terjadi perubahan pada bagian tubuhnya yang terkena trauma, peningkatan metabolisme karena digunakan untuk penyembuhan tulang, terjadi perubahan asupan nutrisi melebihi kebutuhan biasanya terutama kalsium dan zat besi

2) Psiko

Klien akan merasakan cemas yang diakibatkan oleh rasa nyeri dari fraktur, perubahan gaya hidup, kehilangan peran baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat, dampak dari hospitalisasi rawat inap dan harus beradaptasi dengan lingkungan yang baru serta tuakutnya terjadi kecacatan pada dirinya.

3) Sosio

Klien akan kehilangan perannya dalam keluarga dan dalam masyarakat karena harus menjalani perawatan yang waktunya tidak akan sebentar dan juga perasaan akan ketidakmampuan dalam melakukan kegiatan seperti kebutuhannya sendiri seperti biasanya.

4) Spiritual

Klien akan mengalami gangguan kebutuhan spiritual sesuai dengan keyakinannya baik dalam jumlah ataupun dalam beribadah yang diakibatkan karena rasa nyeri dan ketidakmampuannya.

b Terhadap Keluarga

Masalah yang timbul pada keluarga dengan salah satu anggota keluarganya terkena fraktur adalah timbulnya kecemasan akan keadaan klien, apakah nanti akan timbul kecacatan atau akan sembuh total. Koping yang tidak efektif bisa ditempuh keluarga, untuk itu peran perawat disini sangat vital dalam memberikan penjelasan terhadap keluarga. Selain tiu, keluarga harus bisa menanggung semua biaya perawatan dan operasi klien. Hal ini tentunya menambah beban bagi keluarga.

Masalah-masalah diatas timbul saat klien masuk rumah sakit, sedang masalah juga bisa timbul saat klien pulang dan tentunya keluarga harus bisa merawat, memenuhi kebutuhan klien. Hal ini tentunya menambah beban bagi keluarga dan bisa menimbulkan konflik dalam keluarga.

B. ASUHAN KEPERAWATAN

Di dalam memberikan asuhan keperawatan digunakan system atau metode proses keperawatan yang dalam pelaksanaannya dibagi menjadi 5 tahap, yaitu pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.

1. Pengkajian

Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan, untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan sangat bergantuang pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas:

a. Pengumpulan Data

1) Anamnesa

a) Identitas Klien

Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa medis.

b) Keluhan Utama

Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:

(1) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi faktor presipitasi nyeri.

(2) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.

(3) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.

(4) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.

(5) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada malam hari atau siang hari.

(Ignatavicius, Donna D, 1995)

c) Riwayat Penyakit Sekarang

Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).

d) Riwayat Penyakit Dahulu

Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s yang menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang (Ignatavicius, Donna D, 1995).

e) Riwayat Penyakit Keluarga

Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik (Ignatavicius, Donna D, 1995).

f) Riwayat Psikososial

Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat (Ignatavicius, Donna D, 1995).

g) Pola-Pola Fungsi Kesehatan

(1) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat

Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya dan apakah klien melakukan olahraga atau tidak.(Ignatavicius, Donna D,1995).

(2) Pola Nutrisi dan Metabolisme

Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien.

(3) Pola Eliminasi

Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak. (Keliat, Budi Anna, 1991)

(4) Pola Tidur dan Istirahat

Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur (Doengos. Marilynn E, 1999).

(5) Pola Aktivitas

Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding pekerjaan yang lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).

(6) Pola Hubungan dan Peran

Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat inap (Ignatavicius, Donna D, 1995).

(7) Pola Persepsi dan Konsep Diri

Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body image) (Ignatavicius, Donna D, 1995).

(8) Pola Sensori dan Kognitif

Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan.begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur (Ignatavicius, Donna D, 1995).

(9) Pola Reproduksi Seksual

Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah anak, lama perkawinannya (Ignatavicius, Donna D, 1995).

10) Pola Penanggulangan Stress

Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif (Ignatavicius, Donna D, 1995).

11) Pola Tata Nilai dan Keyakinan

Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien (Ignatavicius, Donna D, 1995).

2) Pemeriksaan Fisik

Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu untuk dapat melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih mendalam.

a) Gambaran Umum

Perlu menyebutkan:

(1) Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda, seperti:

(a) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis tergantung pada keadaan klien.

(b) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada kasus fraktur biasanya akut.

(c) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun bentuk.

(2) Secara sistemik dari kepala sampai kelamin

(a) Sistem Integumen

Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak, oedema, nyeri tekan.

(b) Kepala

Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada penonjolan, tidak ada nyeri kepala.

(c) Leher

Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek menelan ada.

(d) Muka

Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.

(e) Mata

Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena tidak terjadi perdarahan)

(f) Telinga

Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau nyeri tekan.

(g) Hidung

Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.

(h) Mulut dan Faring

Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut tidak pucat.

(i) Thoraks

Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.

(j) Paru

(1) Inspeksi

Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru.

(2) Palpasi

Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.

(3) Perkusi

Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.

(4) Auskultasi

Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi.

(k) Jantung

(1) Inspeksi

Tidak tampak iktus jantung.

(2) Palpasi

Nadi meningkat, iktus tidak teraba.

(3) Auskultasi

Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.

(l) Abdomen

(1) Inspeksi

Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.

(2) Palpasi

Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.

(3) Perkusi

Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.

(4) Auskultasi

Peristaltik usus normal ± 20 kali/menit.

(m) Inguinal-Genetalia-Anus

Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB.

b) Keadaan Lokal

Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama mengenai status neurovaskuler. Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah:

(1) Look (inspeksi)

Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:

(a) Cictriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti bekas operasi).

(b) Cape au lait spot (birth mark).

(c) Fistulae.

(d) Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi.

(e) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang tidak biasa (abnormal).

(f) Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)

(g) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)

(2) Feel (palpasi)

Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya ini merupakan pemeriksaan yang memberikan informasi dua arah, baik pemeriksa maupun klien.

Yang perlu dicatat adalah:

(a) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit.

(b) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau oedema terutama disekitar persendian.

(c) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3 proksimal,tengah, atau distal).

Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang terdapat di permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat benjolan perlu dideskripsikan permukaannya, konsistensinya, pergerakan terhadap dasar atau permukaannya, nyeri atau tidak, dan ukurannya.

(3) Move (pergeraka terutama lingkup gerak)

Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif.

(Reksoprodjo, Soelarto, 1995)

3) Pemeriksaan Diagnostik

a) Pemeriksaan Radiologi

Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan” menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan pathologi yang dicari karena adanya superposisi. Perlu disadari bahwa permintaan x-ray harus atas dasar indikasi kegunaan pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan. Hal yang harus dibaca pada x-ray:

(1) Bayangan jaringan lunak.

(2) Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau biomekanik atau juga rotasi.

(3) Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.

(4) Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.

Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tehnik khususnya seperti:

(1) Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga mengalaminya.

(2) Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma.

(3) Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda paksa.

(4) Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang yang rusak.

b) Pemeriksaan Laboratorium

(1) Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan tulang.

(2) Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.

(3) Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5), Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap penyembuhan tulang.

c) Pemeriksaan lain-lain

(1) Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi.

(2) Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.

(3) Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan fraktur.

(4) Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma yang berlebihan.

(5) Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada tulang.

(6) MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.

(Ignatavicius, Donna D, 1995)

b. Analisa Data

Data yang telah dikumpulkan kemudian dikelompokkan dan dianaisa untuk menemukan masalah kesehatan klien. Untuk mengelompokkannya dibagi menjadi dua data yaitu, data sujektif dan data objektif, dan kemudian ditentukan masalah keperawatan yang timbul.

2. Diagnosa Keperawatan

Merupakan pernyataan yang menjelaskan status kesehatan baik aktual maupun potensial. Perawat memakai proses keperawatan dalam mengidentifikasi dan mengsintesa data klinis dan menentukan intervensi keperawatan untuk mengurangi, menghilangkan, atau mencegah masalah kesehatan klien yang menjadi tanggung jawabnya.

3. Perencanaan

4. Pelaksanaan

5. Evaluasi

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Apley, A. Graham , Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley, Widya Medika, Jakarta, 1995.

Black, J.M, et al, Luckman and Sorensen’s Medikal Nursing : A Nursing Process Approach, 4 th Edition, W.B. Saunder Company, 1995.

Carpenito, Lynda Juall, Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan, EGC, Jakarta, 1999.

Dudley, Hugh AF, Ilmu Bedah Gawat Darurat, Edisi II, FKUGM, 1986.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Sistem Kesehatan Nasional, Jakarta, 1991.

Henderson, M.A, Ilmu Bedah untuk Perawat, Yayasan Essentia Medika, Yogyakarta, 1992.

Hudak and Gallo, Keperawatan Kritis, Volume I EGC, Jakarta, 1994.

Ignatavicius, Donna D, Medical Surgical Nursing : A Nursing Process Approach, W.B. Saunder Company, 1995.

Keliat, Budi Anna, Proses Perawatan, EGC, Jakarta, 1994.

Long, Barbara C, Perawatan Medikal Bedah, Edisi 3 EGC, Jakarta, 1996.

Mansjoer, Arif, et al, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid II, Medika Aesculapius FKUI, Jakarta, 2000.

Oswari, E, Bedah dan Perawatannya, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993.

Price, Evelyn C, Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis, Gramedia, Jakarta 1997.

Reksoprodjo, Soelarto, Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah FKUI/RSCM, Binarupa Aksara, Jakarta, 1995.

Tucker, Susan Martin, Standar Perawatan Pasien, EGC, Jakarta, 1998.

[+/-] Selengkapnya...

PENATALAKSANAAN TRANFUSI

This item was filled under

Perlengkapan

·         Blood filter set

·         Cairan NaCL 0,9 % (NS)

·         Sarung tangan

·         Infus set

·         “tape”

·         filter leocosit-depliting k/p

·         presure bag k/p

·         blood warnes k/p

 

TAHAP

RASIONALISASI

1.      Pengkajian

2.      Kaji integritas kulit dan keadaan vena

 

 

3.      Tujukkan pada pihak yang bersangkutan/RS tentang pengelolaan darah

 

 

4.      Cek ukuran yamg digunakan pasien , biasanya nedle No 18 dan 19 angiokateter

Kaji riwayat tranfusi klien

 

 

5.      Kaji indikasi pemberian tranfusi (contoh Ht  menurun)

 

 

6.      Monitor tanda-tanda vital klien, catat sebelum pemberian tranfusi

7.      Kaji/lihat jenis tranfusi yang dianjurkan oleh dokter

 

Peradangan atau tanda-tanda infeksi merupakan kontraindikasi pada pemberian tranfusi farah

 

RS pihak yang bersangkutan mengelola prosedur dan kemanan pelaksanaan  pemberian darah

 

 

Kateter yang lebih besar dapat dilewati oleh molekul darah dan komponen yang lebih besar melalui vena dan mencegah hemolisis

 

Untuk mengobservasi reaksi tranfusi apabila terjadi reaksi pd pasien dapat diantiapasi dengan pemberian antihistamin/anti peretik

untuk mencegah resiko lebih lanjut

 

Dengan mengetahui alasan/indikasi pemberian tranfsi makan dapat dilakukan evalusai secara sepesifik

 

Monitor tanda vital merupakan tanda terjadinya reaksi tranfusi

 

Pemberian tranfusi dilakukan sesuasi mandat dokter. Cek kembali untuk mencegah komplikasi

Diagnosa keperawatan

 

1.      Penurunan kardiak output

2.      Difisit volume cairan

3.      Volume cairan yang berlebihan

 

Planning

1.      Keadaan cairan pasien seimbang

·         Aktifitas pasien toleran

·         Kardiak output meningkat

·         Klien tidak mengalami tranfusi

·         Tetesan harus dipertahankan sesuai program

2.      Keriteria hasil

·         Klien terbebas dari tanda dan gejala reaksi alergi tranfusi

·         Hb & Ht dalam keadaan normal

·         Tanda dan gejala peradangan/pleblitis tidak ada       

 

3.      Berikan formulir dan tanda persetujuan klien

4.      Pesan darah ke bang darah yang akan dianat beberapa waktu kemudian dalam waktu tidak lebih dari 30 menit

5.      Jelaskan tentang prosedur dan tujuan pemberian  pada pasien

6.      Anjurkan kepada pasien untuk memberi tahu perawat bila mengalami nafas pendek, menggigil, sakit kepala, nyeri  dan tanda-tanda bintik kemerahan pada kulit

7.      Bersama perawat yang lain kaji :

·         Nama dan indentitas klien  dan cocokkan pada pak darah, bank darah

·         Golongan darah dan Rh

·         Lakukan Cross  darah

·         Jenis resus dan golongan darah pendonor 

·         Nomor unit RS

·         Tanggal dan waktu pemberian darah

·         Jenis tranfusi cek kembali instruksi dokter

·         Jika terjadi pembekuan darah kembalikan ke bank darah

8.      Catat hasil pengontrolan

 

IMPLEMENTASI

RASIONALISASI

1.      Periksa tanda-tanda vital 30 menit sebelum pemberian tranfusi, lakukan peningkatan suhu ke dokter

 

Sebelum melakukan trenfusi kepada klien, amati temperatur, nadi, tekanan darah, pernafasan , cek reaksi dengan mencatat perubahan tanda vital

 

2.      Buang urine klien dan kosongkan urine bag

Jika terjadi reksi tranfusi ambil contoh urine yang dibutuhkan dari urine setelah dilakkan trenfusi darah

3.      Cuci tangan dan gunakan  hand schon yang disposibel

Mengurangi tertularnya virus HIV, Hepatitis, Bakteri darah

4.      Pemberian tranfusi darah

·         Untuk pemberian pada slang      (bercabang) ketiga klem plane dipasang pada  posisi off

·         Untuk pemberian pada satu slang klem dipasang pada posisi off

 

Mempersiapkan pemberian darah dalam slang pemindahan klem pada posisi off untuk mencegah tumpahnya darah dan mencegah kerusaan darah tersebut

 

 

5.      Untuk slang yang bercabang

·         masukkan kedalam kantong 0,9 % normal salin

·         Untmakan slang dengan pemberian 0,9 % normal salin

Menggnakan slang yang  memungkinkan perawat dengan cepat memasukkan 0,9 % normal salin kedalam darah. Cairan Dextrose tidak pernah digunakan karena dapat menyebabkan pembekuan darah. Dalam pemberian Normal salin perawat menggunakan vena yang tetap atau paten. Pada pelaksanaan slang bercabang seharusnya dapat diantisipasi pada berbagai tranfusi dengan mengikuti petunjuk dan menlihat banyaknya unit yang dapat diberikan sebelum slang dirubah

*        Buka klem pada slang bercaang dengan menghubungkan kantong normal salin dan lepaskan klem yang tidak digunakan didalam slang sampai kantong berisi normal salin

Berikan cairan mengalir  dari kantong normal salin ke kantong yang kosong

 

*        Tutup klem pada slang yang tidak digunkan

Mencegah aliran infus yang cepat

 

*        Putar sisi dari tetmapat drip, biarkan sarngan  sebagai bagian penutup

Mencegah masuknya gelembung udara

*        Bua bagian yang rendah dari role klem dan isi slang dengan normal salin

Mengeluarkan semua udara dari slang

*        Tutup bagian yang lebihrendah dari role klem

 

6.      Untuk pelaksanaan satu slang

*        Memngisi slang dengan darah 

Mempersiapkan pelaksanaan penyaringan dan slang berisi darah

*        Putar klep infus sampai saringan  terisi dengan darah

Melakukan dengan cepat dengan menghubungkan mulai dari persiapan slang infus ke slang kateter intra vena

*        Bila menggunakan satu slang pemberian darah slang lain yang berisi cairan NaCL 0,9 % dihubungkan dengan slang darah tersebut dan gunakan plester sebagai pengaman sambungan

*        Sambungkan slang tranfusi ke slang kateter untuk menjaga keseterilan dan buka bagian yang terrendah dari klem

Tranfusi darah tidak dapat menggunakan infus set biasa, untuk mengurangi kerusakan darah

dengan melalui dua cara

dengan jarum

Slang untuk IV yang dapat menyebabkan trauma pada sel, masukkan darah melalui vena

7.      Perhatikan klem selama 15 - 30 menit pertama setelah dipasang transusi pastikan jumlah tetesan 2 - 5 ml/menit

Banyak reaksi yang bisa terjadi dalam 15-30 menit pertama pada klien dengan trenfusi, pemasukan sedikit pada permulaan menurunkan volume darah klien, akan memperkecil bahaya reaksi

8.      Monitor tanda vital setiap 5 menit  pada 15 menit pertama, selanjutnya setiap 15 menit setiap jam berikutnya dalam satu jam sampai semuah darah dimasukkan dan satu jam setelah trenfusi darah

Kewaspadaan terhadap perubahan tanda-tanda vital yang ditandai reaksi sedini mungkin

9.      Pasang infus sesusi instruksi dokter. Darah pack sel biasanya menyebar keseluruh tubuh setelah 1,5 -2 jam dan mengalir secara keseluruhan keseluruh tubuh setelah 2-3 jam

Kondisi klien akan teratur bila tetesan darah 10 tetes/menit

10.  Lakukan spul slang infus dengan NaCL

Sisa pemasukan darah lewat IV dan adanya NaCL dapat mencegah  hemolisis

11.  Pastikan semua tindakan berlangsung dengan baik. Lepas sarung tangan dan cuci tangan

Untuk mengurang transmisi mikroorganisme

 

 

 

EVALUASI

 

 

1.      Observasi reaksi : kedinginan, kemerahan, gatal, dispnoe, kram dan bengkak

Tanda-tanda dini reaksi infus

2.      Observasi klien dan kaji hasil laboratorium untuk dapat mencatat hasil pemberian komponen darah

Untuk mengkaji ada tidaknya perubahan fisiologis

3.      Monitor tempat pemasangan infus dan kaji keadaan fisiologis setiap pengukuran tanda vital

Mendeteksi adanya infeltrasi atau plebitis

4.      Hasil yang tidak diharapkan bisa terjadi seperti.

·         klien menunjukkan tanda kedinginan, panas, urtuikaria, dispnue, sakitkepala, nyeri dada

Terjadi bila darah donor tidak sesuai dengan resipien

·         Gejala anafilaktik shock: hipertensi takikardi, kemerahan, kesdran menurun kardiak ares

Walaupun jarang terjadi tapi biasanya karena kesalahan pada bank darah atau salah pemberian/tertukar

·         Tanda overload cairan : Dispnoe, takikardi, takipnoe, cracless

Banyaknya seldarah merah menarik cairan ke dalam vaskuler karena penambahan tekanan osmotik

·         Infiltarsi dan flebitis terjadi pada vena

Terjadi pada lokasi infus

 

Pencatatan dan Pelaporan

Mencatat tipe dan jumlah pemberian darah serta respon klien terhadap trenfusi darah biasanya pencatatan tranfusi dibuat terpisah

Folow up

1.      Reaksi tranfusi

·         Stop darah segera dan ikuti anjuran

·         Pelihara keadaan infus dengan NaCL

·         Kembalikan darah ke bank darah

2.      Anaphilatic Shock

·         Ketidak lancaran tranfusi

·         panggil petugas imergensi

·         bila perlu CPR

·         pelihara keadaan IV

3.      Overload cairan

·         Lambatkan atau stop cairan

·         Turunkan kepala klien

·         Berikan deuritik, morfin, O2 sesuai anjuran

4.      Infiltrasi atau infeksi pada lokasi infus

·         Pasang infus kembali pada tempat lain

·         Mengadakan penilain untuk menurunkan infiltrasi atau inflamasi

5.      Secara perlahan atau menggoyang bagian  bagian infus dapat mencegah timbulnya kepadatan cairan. Pemberian NaCL secara bersamaan dengan infus darah dapat mencairkan darah yang terlalu kental

[+/-] Selengkapnya...