Konsep Dysmenorrhea

This item was filled under

Pengertian Dysmenorrhea

Nyeri haid atau Dysmenorrhea mungkin merupakan suatu gejala yang paling sering menyebabkan wanita-wanita muda pergi ke dokter untuk konsultasi dan pengobatan, karena gangguan ini sifatnya subyektif, berat atau intensitasnya sukar dinilai

Istilah dysmenorrhea atau nyeri haid hanya dipakai jika nyeri haid demikian hebatnya, sehingga memaksa penderita untuk istirahat dan meninggalkan pekerjaannya untuk beberapa jam atau beberapa hari (Simanjuntak, 1997). Ada 2 jenis dysmenorrhea, yaitu dysmenorrhea primer dan dysmenorrhea sekunder. Pembagian dismenorea sebagai berikut : pertama dysmenorrhea primer atau esensial, intrinsik, idiopatik, yang pada jenis ini tidak ditemukan atau didapati adanya kelainan ginekologik yang nyata; yang kedua dismenorea sekunder atau ekstrinsik, yaitu rasa nyerinya disebabkan karena adanya kelainan pada daerah pelvis, misalnya endometriosis, mioma uteri, stenosis serviks, malposisi uterus atau adanya IUD. menstruasi yang menimbulkan rasa nyeri pada remaja hampir semuanya disebabkan dysmenorrhea primer. Dysmenorrhea primer disebabkan karena gangguan keseimbangan fungsional, bukan karena penyakit organik pelvis, sedangkan dysmenorrhea sekunder berhubungan dengan kelainan organik di pelvis yang terjadi pada masa remaja.

Klasifikasi dysmenorrhea

1) Dysmenorrhea primer

a. Definisi

Dysmenorrhea primer adalah nyeri menstruasi yang terjadi tanpa adanya kelainan ginekologik yang nyata. Dismenorea primer terjadi beberapa waktu setelah menarke, biasanya sesudah menarke, umumnya sesudah 12 bulan atau lebih, oleh karena siklus-siklus menstruasi pada bulan-bulan pertama setelah menarke biasanya bersifat anovulatoir yang tidak disertai nyeri. Rasa nyeri timbul sebelum atau bersama-sama dengan menstruasi dan berlangsung untuk beberapa jam, walaupun pada beberapa kasus dapat berlangsung sampai beberapa hari. Sifat rasa nyeri ialah kejang yang berjangkit-jangkit, biasanya terbatas pada perut bawah, tetapi dapat merambat ke daerah pinggang dan paha. Rasa nyeri dapat disertai rasa mual, muntah, sakit kepala, diare (Hanafiah, 1997).

b. Etiologi dysmenorrhea primer

Banyak teori yang telah dikemukakan untuk menerangkan penyebab dysmenorrhea primer. Menurut Hanafiah (1997), beberapa faktor berikut ini memegang peranan penting sebagai penyebab dysmenorrhea primer, antara lain:

o Faktor kejiwaan

Gadis-gadis remaja yang secara emosional tidak stabil, apalagi jika mereka tidak mendapat penerangan yang baik tentang proses menstruasi, maka mudah untuk timbul dysmenorrhea primer. Faktor ini, bersama-sama dismenorea merupakan kandidat terbesar untuk menimbulkan gangguan insomnia.

o Faktor konstitusi

Faktor ini erat hubungannya dengan faktor kejiwaan yang dapat juga menurunkan ketahanan terhadap nyeri, faktor-faktor ini adalah anemia, penyakit menahun, dan sebagainya.

o Faktor obstruksi kanalis servikalis

Salah satu teori yang paling tua untuk menerangkan terjadinya dismenorea primer adalah karena terjadinya stenosis kanalis servikalis. Akan tetapi sekarang tidak lagi dianggap sebagai faktor penting sebagai penyebab dismenorea primer, karena banyak wanita menderita dismenorea primer tanpa stenosis servikalis dan tanpa uterus dalam hiperantefleksi, begitu juga sebaliknya. Mioma submukosum bertangkai atau polip endometrium dapat menyebabkan dismenorea karena otot-otot uterus berkontraksi kuat untuk mengeluarkan kelainan tersebut.

o Faktor endokrin

Umumnya ada anggapan bahwa kejang yang terjadi pada dismenorea primer disebabkan oleh kontraksi uterus yang berlebihan. Hal ini disebabkan karena endometrium dalam fase sekresi memproduksi prostaglandin F2 alfa yang menyebabkan kontraksi otot-otot polos. Jika jumlah prostaglandin F2 alfa berlebih dilepaskan dalam peredaran darah, maka selain dismenorea, dijumpai pula efek umum, seperti diare, nausea, dan muntah.

o Faktor alergi

Teori ini dikemukakan setelah adanya asosiasi antara dysmenorrhea primer dengan urtikaria, migren atau asma bronkiale.

c. Patofisiologi

Mekanisme terjadinya nyeri pada dysmenorrhea primer diterangkan sebagai berikut :

Bila tidak terjadi kehamilan, maka korpus luteum akan mengalami regresi dan hal ini akan mengakibatkan penurunan kadar progesteron. Penurunan ini akan mengakibatkan labilisasi membran lisosom, sehingga mudah pecah dan melepaskan enzim fosfolipase A2. Fosfolipase ini A2 akan menghidrolisis senyawa fosfolipid yang ada di membran sel endometrium; menghasilkan asam arakhidonat. Adanya asam arakhidonat bersama dengan kerusakan endometrium akan merangsang kaskade asam arakhidonat yang akan menghasilkan prostaglandin, antara lain PGE2 dan PGF2 alfa. Wanita dengan dysmenorrhea primer didapatkan adanya peningkatan kadar PGE dan PGF2 alfa di dalam darahnya, yang akan merangsang miometrium dengan akibat terjadinya peningkatan kontraksi dan disritmi uterus. Akibatnya akan terjadi penurunan aliran darah ke uterus dan ini akan mengakibatkan iskemia. Prostaglandin sendiri dan endoperoksid juga menyebabkan sensitisasi dan selanjutnya menurunkan ambang rasa sakit pada ujung-ujung syaraf aferen nervus pelvicus terhadap rangsang fisik dan kimia (Sunaryo, 1989).

2) Dysmenorrhea sekunder

a. Definisi

Dysmenorrhea sekunder dikaitkan dengan penyakit pelvis organik, seperti endometriosis, penyakit radang pelvis, stenosis serviks, neoplasma ovarium atau uterus dan polip uterus. IUD juga dapat merupakan penyebab dismenorea ini. Dismenorea sekunder dapat disalahartikan sebagai dismenore primer atau dapat rancu dengan komplikasi kehamilan dini, terapi harus ditunjukkan untuk mengobati penyakit dasar (Bobak, 2004)

b. Pengobatan

Pengobatan yang sering dipakai adalah golongan NSAID yaitu : aspirin, naproksen, ibuprofen, indometasin, dan asam mefenamat. Obat-obatan ini sering kali lebih efektif jika diminum sebelum timbul nyeri.

Karena dismenorea jarang menyertai perdarahan tanpa ovulasi, maka pemberian kontrasepsi oral untuk menekan ovulasi juga merupakan pengobatan yang efektif.

[+/-] Selengkapnya...

Konsep Dasar Menstruasi

This item was filled under

Pengertian Menstruasi

Menstruasi adalah perdarahan periodik pada uterus yang dimulai sekitar 14 hari setelah ovulasi (Bobak, 2004)

Menstruasi adalah perdarahan vagina secara berkala akibat terlepasnya lapisan endometrium uterus. Fungsi menstruasi normal merupakan hasil interaksi antara hipotalamus, hipofisis, dan ovarium dengan perubahan-perubahan terkait pada jaringan sasaran pada saluran reproduksi normal, ovarium memainkan peranan penting dalam proses ini, karena tampaknya bertanggung jawab dalam pengaturan perubahan-perubahan siklik maupun lama siklus menstruasi (Greenspan, 1998).

Siklus Menstruasi

1) Gambaran klinis menstruasi

Sebagian besar wanita pertengahan usia reproduktif, perdarahan menstruasi terjadi setiap 25-35 hari dengan median panjang siklus adalah 28 hari. Wanita dengan siklus ovulatorik, selang waktu antara awal menstruasi hingga ovulasi – fase folikular – bervariasi lamanya. Siklus yang diamati terjadi pada wanita yang mengalami ovulasi. Selang waktu antara awal perdarahan menstruasi – fase luteal – relatif konstan dengan rata-rata 14 ± 2 hari pada kebanyakan wanita (Grenspan, 1998).

Lama keluarnya darah menstruasi juga bervariasi; pada umumnya lamanya 4 sampai 6 hari, tetapi antara 2 sampai 8 hari masih dapat dianggap normal. Pengeluaran darah menstruasi terdiri dari fragmen-fragmen kelupasan endrometrium yang bercampur dengan darah yang banyaknya tidak tentu. Biasanya darahnya cair, tetapi apabila kecepatan aliran darahnya terlalu besar, bekuan dengan berbagai ukuran sangat mungkin ditemukan. Ketidakbekuan darah menstruasi yang biasa ini disebabkan oleh suatu sistem fibrinolitik lokal yang aktif di dalam endometrium.

Rata-rata banyaknya darah yang hilang pada wanita normal selama satu periode menstruasi telah ditentukan oleh beberapa kelompok peneliti, yaitu 25-60 ml. Konsentrasi Hb normal 14 gr per dl dan kandungan besi Hb 3,4 mg per g, volume darah ini mengandung 12-29 mg besi dan menggambarkan kehilangan darah yang sama dengan 0,4 sampai 1,0 mg besi untuk setiap hari siklus tersebut atau 150 sampai 400 mg per tahun (Cunningham, 1995).

2) Aspek hormonal selama siklus menstruasi

Mamalia, khususnya manusia, siklus reproduksinya melibatkan berbagai organ, yaitu uterus, ovarium, vagina, dan mammae yang berlangsung dalam waktu tertentu atau adanya sinkronisasi, maka hal ini dimungkinkan adanya pengaturan, koordinasi yang disebut hormon. Hormon adalah zat kimia yang dihasilkan oleh kelenjar endokrin, yang langsung dialirkan dalam peredaran darah dan mempengaruhi organ tertentu yang disebut organ target. Hormon-hormon yang berhubungan dengan siklus menstruasi ialah ;

a) Hormon-hormon yang dihasilkan gonadotropin hipofisis :

o Luteinizing Hormon (LH)

o Folikel Stimulating Hormon (FSH)

o Prolaktin Releasing Hormon (PRH)

b) Steroid ovarium

Ovarium menghasilkan progestrin, androgen, dan estrogen. Banyak dari steroid yang dihasilkan ini juga disekresi oleh kelenjar adrenal atau dapat dibentuk di jaringan perifer melalui pengubahan prekursor-prekursor steroid lain; konsekuensinya, kadar plasma dari hormon-hormon ini tidak dapat langsung mencerminkan aktivitas steroidogenik dari ovarium.

3) Fase-fase dalam siklus menstruasi

Setiap satu siklus menstruasi terdapat 4 fase perubahan yang terjadi dalam uterus. Fase-fase ini merupakan hasil kerjasama yang sangat terkoordinasi antara hipofisis anterior, ovarium, dan uterus. Fase-fase tersebut adalah :

a) Fase menstruasi atau deskuamasi

Fase ini, endometrium terlepas dari dinding uterus dengan disertai pendarahan dan lapisan yang masih utuh hanya stratum basale. Fase ini berlangsung selama 3-4 hari.

b) Fase pasca menstruasi atau fase regenerasi

Fase ini, terjadi penyembuhan luka akibat lepasnya endometrium. Kondisi ini mulai sejak fase menstruasi terjadi dan berlangsung selama ± 4 hari.

c) Fase intermenstum atau fase proliferasi

Setelah luka sembuh, akan terjadi penebalan pada endometrium ± 3,5 mm. Fase ini berlangsung dari hari ke-5 sampai hari ke-14 dari siklus menstruasi.

Fase proliferasi dibagi menjadi 3 tahap, yaitu :

o Fase proliferasi dini, terjadi pada hari ke-4 sampai hari ke-7. Fase ini dapat dikenali dari epitel permukaan yang tipis dan adanya regenerasi epitel.

o Fase proliferasi madya, terjadi pada hari ke-8 sampai hari ke-10. Fase ini merupakan bentuk transisi dan dapat dikenali dari epitel permukaan yang berbentuk torak yang tinggi.

o Fase proliferasi akhir, berlangsung antara hari ke-11 sampai hari ke-14. Fase ini dapat dikenali dari permukaan yang tidak rata dan dijumpai banyaknya mitosis.

d) Fase pramenstruasi atau fase sekresi

Fase ini berlangsung dari hari ke-14 sampai ke-28. Fase ini endometrium kira-kira tetap tebalnya, tetapi bentuk kelenjar berubah menjadi panjang berkelok-kelok dan mengeluarkan getah yang makin lama makin nyata. Bagian dalam sel endometrium terdapat glikogen dan kapur yang diperlukan sebagai bahan makanan untuk telur yang dibuahi.

Fase sekresi dibagi dalam 2 tahap, yaitu :

o Fase sekresi dini, pada fase ini endometrium lebih tipis dari fase sebelumnya karena kehilangan cairan.

o Fase sekresi lanjut, pada fase ini kelenjar dalam endometrium berkembang dan menjadi lebih berkelok-kelok dan sekresi mulai mengeluarkan getah yang mengandung glikogen dan lemak. Akhir masa ini, stroma endometrium berubah kearah sel-sel; desidua, terutama yang ada di seputar pembuluh-pembuluh arterial. Keadaan ini memudahkan terjadinya nidasi (Hanafiah, 1997).

4) Mekanisme siklus menstruasi

Selama haid, pada hari bermulanya diambil sebagai hari pertama dari siklus yang baru. Akan terjadi lagi peningkatan dari FSH sampai mencapai kadar 5 ng/ml (atau setara dengan 10 mUI/ml), dibawah pengaruh sinergis kedua gonadotropin, folikel yang berkembang ini menghasilkan estradiol dalam jumlah yang banyak. Peningkatan serum yang terus-menerus pada akhir fase folikuler akan menekan FSH dari hipofisis. Dua hari sebelum ovulasi, kadar estradiol mencapai 150-400 pg/ml. Kadar tersebut melebihi nilai ambang rangsang untuk pengeluaran gonadotropin pra-ovulasi. Akibatnya FSH dan LH dalam serum akan meningkat dan mencapai puncaknya satu hari sebelum ovulasi. Saat yang sama pula, kadar estradiol akan kembali menurun. Kadar maksimal LH berkisar antara 8 dan 35 ng/ml atau setara dengan 30-40 mUI/ml, dan FSH antara 4-10 ng/ ml atau setara dengan 15-45 mUI/ml.

Terjadinya puncak LH dan FSH pada hari ke-14, maka pada saat ini folikel akan mulai pecah dan satu hari kemudian akan timbul ovulasi. Bersamaan dengan ini dimulailah pembentukan dan pematangan korpus luteum yang disertai dengan meningkatnya kadar progesteron, sedangkan gonadotropin mulai turun kembali. Peningkatan progesteron tersebut tidak selalu memberi arti, bahwa ovulasi telah terjadi dengan baik, karena pada beberapa wanita yang tidak terjadi ovulasi tetap dijumpai suhu basal badan dan endometrium sesuai dengan fase luteal.

Awal fase luteal, seiring dengan pematangan korpus luteum. Sekresi progesteron terus menerus meningkat dan mencapai kadar antara 6 dan 20 ng/ml. Estradiol yang dikeluarkan terutama dari folikel yang besar yang tidak mengalami atresia, juga tampak pada fase luteal dengan konsentrasi yang lebih tinggi daripada selama permulaan atau pertengahan fase folikuler. Produksi estradiol dan progesteron maksimal dijumpai antara hari ke-20 dan 23 (Jacoeb, 1994).

[+/-] Selengkapnya...

Konsep dasar Nyeri

This item was filled under

Pengertian nyeri

Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007).

Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan

Fisiologi nyeri

Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor, secara anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada juga yang tidak bermielin dari syaraf perifer.

Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa bagaian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan pada daerah viseral, karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda.

Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan. Reseptor jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu :

a. Reseptor A delta

Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30 m/det) yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila penyebab nyeri dihilangkan

b. Serabut C

Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det) yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi

Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang terdapat pada tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga lainnya. Karena struktur reseptornya komplek, nyeri yang timbul merupakan nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi.

Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi organ-organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang timbul pada reseptor ini biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi sangat sensitif terhadap penekanan, iskemia dan inflamasi.

Teori Pengontrolan nyeri (Gate control theory)

Terdapat berbagai teori yang berusaha menggambarkan bagaimana nosireseptor dapat menghasilkan rangsang nyeri. Sampai saat ini dikenal berbagai teori yang mencoba menjelaskan bagaimana nyeri dapat timbul, namun teori gerbang kendali nyeri dianggap paling relevan (Tamsuri, 2007)

Teori gate control dari Melzack dan Wall (1965) mengusulkan bahwa impuls nyeri dapat diatur atau dihambat oleh mekanisme pertahanan di sepanjang sistem saraf pusat. Teori ini mengatakan bahwa impuls nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka dan impuls dihambat saat sebuah pertahanan tertutup. Upaya menutup pertahanan tersebut merupakan dasar teori menghilangkan nyeri.

Suatu keseimbangan aktivitas dari neuron sensori dan serabut kontrol desenden dari otak mengatur proses pertahanan. Neuron delta-A dan C melepaskan substansi C melepaskan substansi P untuk mentranmisi impuls melalui mekanisme pertahanan. Selain itu, terdapat mekanoreseptor, neuron beta-A yang lebih tebal, yang lebih cepat yang melepaskan neurotransmiter penghambat. Apabila masukan yang dominan berasal dari serabut beta-A, maka akan menutup mekanisme pertahanan. Diyakini mekanisme penutupan ini dapat terlihat saat seorang perawat menggosok punggung klien dengan lembut. Pesan yang dihasilkan akan menstimulasi mekanoreseptor, apabila masukan yang dominan berasal dari serabut delta A dan serabut C, maka akan membuka pertahanan tersebut dan klien mempersepsikan sensasi nyeri. Bahkan jika impuls nyeri dihantarkan ke otak, terdapat pusat kortek yang lebih tinggi di otak yang memodifikasi nyeri. Alur saraf desenden melepaskan opiat endogen, seperti endorfin dan dinorfin, suatu pembunuh nyeri alami yang berasal dari tubuh. Neuromedulator ini menutup mekanisme pertahanan dengan menghambat pelepasan substansi P. tehnik distraksi, konseling dan pemberian plasebo merupakan upaya untuk melepaskan endorfin (Potter, 2005)

Respon Psikologis

respon psikologis sangat berkaitan dengan pemahaman klien terhadap nyeri yang terjadi atau arti nyeri bagi klien.

Arti nyeri bagi setiap individu berbeda-beda antara lain :

1) Bahaya atau merusak

2) Komplikasi seperti infeksi

3) Penyakit yang berulang

4) Penyakit baru

5) Penyakit yang fatal

6) Peningkatan ketidakmampuan

7) Kehilangan mobilitas

8) Menjadi tua

9) Sembuh

10) Perlu untuk penyembuhan

11) Hukuman untuk berdosa

12) Tantangan

13) Penghargaan terhadap penderitaan orang lain

14) Sesuatu yang harus ditoleransi

15) Bebas dari tanggung jawab yang tidak dikehendaki

Pemahaman dan pemberian arti nyeri sangat dipengaruhi tingkat pengetahuan, persepsi, pengalaman masa lalu dan juga faktor sosial budaya

Respon fisiologis terhadap nyeri

1) Stimulasi Simpatik:(nyeri ringan, moderat, dan superficial)

a) Dilatasi saluran bronkhial dan peningkatan respirasi rate

b) Peningkatan heart rate

c) Vasokonstriksi perifer, peningkatan BP

d) Peningkatan nilai gula darah

e) Diaphoresis

f) Peningkatan kekuatan otot

g) Dilatasi pupil

h) Penurunan motilitas GI

2) Stimulus Parasimpatik (nyeri berat dan dalam)

a) Muka pucat

b) Otot mengeras

c) Penurunan HR dan BP

d) Nafas cepat dan irreguler

e) Nausea dan vomitus

f) Kelelahan dan keletihan

Respon tingkah laku terhadap nyeri

1) Respon perilaku terhadap nyeri dapat mencakup:

2) Pernyataan verbal (Mengaduh, Menangis, Sesak Nafas, Mendengkur)

3) Ekspresi wajah (Meringis, Menggeletukkan gigi, Menggigit bibir)

4) Gerakan tubuh (Gelisah, Imobilisasi, Ketegangan otot, peningkatan gerakan jari & tangan

5) Kontak dengan orang lain/interaksi sosial (Menghindari percakapan, Menghindari kontak sosial, Penurunan rentang perhatian, Fokus pd aktivitas menghilangkan nyeri)

Individu yang mengalami nyeri dengan awitan mendadak dapat bereaksi sangat berbeda terhadap nyeri yang berlangsung selama beberapa menit atau menjadi kronis. Nyeri dapat menyebabkan keletihan dan membuat individu terlalu letih untuk merintih atau menangis. Pasien dapat tidur, bahkan dengan nyeri hebat. Pasien dapat tampak rileks dan terlibat dalam aktivitas karena menjadi mahir dalam mengalihkan perhatian terhadap nyeri.

Meinhart & McCaffery mendiskripsikan 3 fase pengalaman nyeri:

1) Fase antisipasi (terjadi sebelum nyeri diterima)

Fase ini mungkin bukan merupakan fase yg paling penting, karena fase ini bisa mempengaruhi dua fase lain. Pada fase ini memungkinkan seseorang belajar tentang nyeri dan upaya untuk menghilangkan nyeri tersebut. Peran perawat dalam fase ini sangat penting, terutama dalam memberikan informasi pada klien.

2) Fase sensasi (terjadi saat nyeri terasa)

Fase ini terjadi ketika klien merasakan nyeri. karena nyeri itu bersifat subyektif, maka tiap orang dalam menyikapi nyeri juga berbeda-beda. Toleraransi terhadap nyeri juga akan berbeda antara satu orang dengan orang lain. orang yang mempunyai tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri tidak akan mengeluh nyeri dengan stimulus kecil, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah akan mudah merasa nyeri dengan stimulus nyeri kecil. Klien dengan tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri mampu menahan nyeri tanpa bantuan, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah sudah mencari upaya mencegah nyeri, sebelum nyeri datang.

Keberadaan enkefalin dan endorfin membantu menjelaskan bagaimana orang yang berbeda merasakan tingkat nyeri dari stimulus yang sama. Kadar endorfin berbeda tiap individu, individu dengan endorfin tinggi sedikit merasakan nyeri dan individu dengan sedikit endorfin merasakan nyeri lebih besar.

Klien bisa mengungkapkan nyerinya dengan berbagai jalan, mulai dari ekspresi wajah, vokalisasi dan gerakan tubuh. Ekspresi yang ditunjukan klien itulah yang digunakan perawat untuk mengenali pola perilaku yang menunjukkan nyeri. Perawat harus melakukan pengkajian secara teliti apabila klien sedikit mengekspresikan nyerinya, karena belum tentu orang yang tidak mengekspresikan nyeri itu tidak mengalami nyeri. Kasus-kasus seperti itu tentunya membutuhkan bantuan perawat untuk membantu klien mengkomunikasikan nyeri secara efektif.

3) Fase akibat (terjadi ketika nyeri berkurang atau berhenti)

Fase ini terjadi saat nyeri sudah berkurang atau hilang. Pada fase ini klien masih membutuhkan kontrol dari perawat, karena nyeri bersifat krisis, sehingga dimungkinkan klien mengalami gejala sisa pasca nyeri. Apabila klien mengalami episode nyeri berulang, maka respon akibat (aftermath) dapat menjadi masalah kesehatan yang berat. Perawat berperan dalam membantu memperoleh kontrol diri untuk meminimalkan rasa takut akan kemungkinan nyeri berulang.

Faktor yang mempengaruhi respon nyeri

1) Usia

Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami kerusakan fungsi. Pada lansia cenderung memendam nyeri yang dialami, karena mereka mengangnggap nyeri adalah hal alamiah yang harus dijalani dan mereka takut kalau mengalami penyakit berat atau meninggal jika nyeri diperiksakan.

2) Jenis kelamin

Gill (1990) mengungkapkan laki-laki dan wnita tidak berbeda secara signifikan dalam merespon nyeri, justru lebih dipengaruhi faktor budaya (ex: tidak pantas kalo laki-laki mengeluh nyeri, wanita boleh mengeluh nyeri).

3) Kultur

Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka berespon terhadap nyeri misalnya seperti suatu daerah menganut kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat yang harus diterima karena mereka melakukan kesalahan, jadi mereka tidak mengeluh jika ada nyeri.

4) Makna nyeri

Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang terhadap nyeri dan dan bagaimana mengatasinya.

5) Perhatian

Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat mempengaruhi persepsi nyeri. Menurut Gill (1990), perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya distraksi dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun. Tehnik relaksasi, guided imagery merupakan tehnik untuk mengatasi nyeri.

6) Ansietas

Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan seseorang cemas.

7) Pengalaman masa lalu

Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat ini nyeri yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi nyerinya. Mudah tidaknya seseorang mengatasi nyeri tergantung pengalaman di masa lalu dalam mengatasi nyeri.

8) Pola koping

Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri dan sebaliknya pola koping yang maladaptive akan menyulitkan seseorang mengatasi nyeri.

9) Support keluarga dan sosial

Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan dan perlindungan

Intensitas Nyeri

Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling mungkin adalah menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran dengan tehnik ini juga tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri (Tamsuri, 2007).

Menurut smeltzer, S.C bare B.G (2002) adalah sebagai berikut :

1) skala intensitas nyeri deskritifskala intensitas nyeri deskritif

2) Skala identitas nyeri numerik

Skala identitas nyeri numerik

3) Skala analog visual

Skala analog visual

4) Skala nyeri menurut bourbanis

Skala nyeri menurut bourbanis

Keterangan :

0 :Tidak nyeri

1-3 : Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat berkomunikasi

dengan baik.

4-6 : Nyeri sedang : Secara obyektif klien mendesis,

menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan baik.

7-9 : Nyeri berat : secara obyektif klien terkadang tidak dapat

mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi

10 : Nyeri sangat berat : Pasien sudah tidak mampu lagi

berkomunikasi, memukul.

Karakteristik paling subyektif pada nyeri adlah tingkat keparahan atau intensitas nyeri tersebut. Klien seringkali diminta untuk mendeskripsikan nyeri sebagai yang ringan, sedang atau parah. Namun, makna istilah-istilah ini berbeda bagi perawat dan klien. Dari waktu ke waktu informasi jenis ini juga sulit untuk dipastikan.

Skala deskritif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih obyektif. Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS) merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis. Pendeskripsi ini diranking dari “tidak terasa nyeri” sampai “nyeri yang tidak tertahankan”. Perawat menunjukkan klien skala tersebut dan meminta klien untuk memilih intensitas nyeri trbaru yang ia rasakan. Perawat juga menanyakan seberapa jauh nyeri terasa paling menyakitkan dan seberapa jauh nyeri terasa paling tidak menyakitkan. Alat VDS ini memungkinkan klien memilih sebuah kategori untuk mendeskripsikan nyeri. Skala penilaian numerik (Numerical rating scales, NRS) lebih digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, klien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi terapeutik. Apabila digunakan skala untuk menilai nyeri, maka direkomendasikan patokan 10 cm (AHCPR, 1992).

Skala analog visual (Visual analog scale, VAS) tidak melebel subdivisi. VAS adalah suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberi klien kebebasan penuh untuk mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat merupakan pengukuran keparahan nyeri yang lebih sensitif karena klien dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa memilih satu kata atau satu angka (Potter, 2005).

Skala nyeri harus dirancang sehingga skala tersebut mudah digunakan dan tidak mengkomsumsi banyak waktu saat klien melengkapinya. Apabila klien dapat membaca dan memahami skala, maka deskripsi nyeri akan lebih akurat. Skala deskritif bermanfaat bukan saja dalam upaya mengkaji tingkat keparahan nyeri, tapi juga, mengevaluasi perubahan kondisi klien. Perawat dapat menggunakan setelah terapi atau saat gejala menjadi lebih memburuk atau menilai apakah nyeri mengalami penurunan atau peningkatan (Potter, 2005).

 

sumber

Priharjo, R (1993). Perawatan Nyeri, pemenuhan aktivitas istirahat. Jakarta : EGC hal : 87.

Shone, N. (1995). Berhasil Mengatasi Nyeri. Jakarta : Arcan. Hlm : 76-80

Ramali. A. (2000). Kamus Kedokteran : Arti dan Keterangan Istilah. Jakarta : Djambatan.

Syaifuddin. (1997). Anatomi fisiologi untuk siswa perawat.edisi-2. Jakarta : EGC. Hlm : 123-136.

Tamsuri, A. (2007). Konsep dan penatalaksanaan nyeri. Jakarta : EGC. Hlm 1-63

Potter. (2005). Fundamental Keperawatan Konsep, Proses dan Praktik. Jakarta: EGC. Hlm 1502-1533.

[+/-] Selengkapnya...

Tehnik Distraksi

This item was filled under

 Pengertian Tehnik Distraksi

Tehnik distraksi adalah pengalihan dari fokus perhatian terhadap nyeri ke stimulus yang lain. Tehnik distraksi dapat mengatasi nyeri berdasarkan teori bahwa aktivasi retikuler menghambat stimulus nyeri. jika seseorang menerima input sensori yang berlebihan dapat menyebabkan terhambatnya impuls nyeri ke otak (nyeri berkurang atau tidak dirasakan oleh klien),. Stimulus yang menyenangkan dari luar juga dapat merangsang sekresi endorfin, sehingga stimulus nyeri yang dirasakan oleh klien menjadi berkurang. Peredaan nyeri secara umum berhubungan langsung dengan partisipasi aktif individu, banyaknya modalitas sensori yang digunakan dan minat individu dalam stimulasi, oleh karena itu, stimulasi penglihatan, pendengaran dan sentuhan mungkin akan lebih efektif dalam menurunkan nyeri dibanding stimulasi satu indera saja (Tamsuri, 2007).

Jenis Tehnik Distraksi antara lain :

1) Distraksi visual

Melihat pertandingan, menonton televisi, membaca koran, melihat pemandangan dan gambar termasuk distraksi visual.

2) Distraksi pendengaran

Diantaranya mendengarkan musik yang disukai atau suara burung serta gemercik air, individu dianjurkan untuk memilih musik yang disukai dan musik tenang seperti musik klasik, dan diminta untuk berkosentrasi pada lirik dan irama lagu. Klien juga diperbolehkan untuk menggerakkan tubuh mengikuti irama lagu seperti bergoyang, mengetukkan jari atau kaki. (Tamsuri, 2007).

Musik klasik salah satunya adalah musik Mozart. Dari sekian banyak karya musik klasik, sebetulnya ciptaan milik Wolfgang Amadeus Mozart (1756-1791) yang paling dianjurkan. Beberapa penelitian sudah membuktikan, Mengurangi tingkat ketegangan emosi atau nyeri fisik. Penelitian itu di antaranya dilakukan oleh Dr. Alfred Tomatis dan Don Campbell. Mereka mengistilahkan sebagai “Efek Mozart”.

Dibanding musik klasik lainnya, melodi dan frekuensi yang tinggi pada karya-karya Mozart mampu merangsang dan memberdayakan daerah kreatif dan motivatif di otak. Yang tak kalah penting adalah kemurnian dan kesederhaan musik Mozart itu sendiri. Namun, tidak berarti karya komposer klasik lainnya tidak dapat digunakan (Andreana, 2006)

3) Distraksi pernafasan

Bernafas ritmik, anjurkan klien untuk memandang fokus pada satu objek atau memejamkan mata dan melakukan inhalasi perlahan melalui hidung dengan hitungan satu sampai empat dan kemudian menghembuskan nafas melalui mulut secara perlahan dengan menghitung satu sampai empat (dalam hati). Anjurkan klien untuk berkosentrasi pada sensasi pernafasan dan terhadap gambar yang memberi ketenangan, lanjutkan tehnik ini hingga terbentuk pola pernafasan ritmik.

Bernafas ritmik dan massase, instruksi kan klien untuk melakukan pernafasan ritmik dan pada saat yang bersamaan lakukan massase pada bagaian tubuh yang mengalami nyeri dengan melakukan pijatan atau gerakan memutar di area nyeri.

4) Distraksi intelektual

Antara lain dengan mengisi teka-teki silang, bermain kartu, melakukan kegemaran (di tempat tidur) seperti mengumpulkan perangko, menulis cerita.

5) Tehnik pernafasan

Seperti bermain, menyanyi, menggambar atau sembayang

6) Imajinasi terbimbing

Adalah kegiatan klien membuat suatu bayangan yang menyenangkan dan mengonsentrasikan diri pada bayangan tersebut serta berangsur-angsur membebaskan diri dari dari perhatian terhadap nyeri

[+/-] Selengkapnya...

Menurunkan Intensitas Nyeri Menstruasi (Dysmenorrhea) Dengan Terapi Musik Mozart

This item was filled under

Nyeri Menstruasi atau Dysmenorrhea merupakan suatu masalah yang serius bagi kaum wanita jika tidak segera ditangani dengan terapi yang tepat.

Definisi dysmenorrhea

Nyeri menstruasi atau dysmenorrhea terjadi karena perbedaan ambang rangsang nyeri pada setiap orang. Nyeri menstruasi cenderung terjadi lebih sering dan lebih hebat, pada gadis remaja yang mengalami kegelisahan, ketegangan dan kecemasan. Jika tidak diatasi, nyeri menstruasi ini seringkali akan mengganggu aktifitas dari wanita.

Pembagian Dysmenorrhea



Dysmenorrhea dibagi menjadi dua, yaitu :

Dysmenorrhea primer
Adalah nyeri menstruasi yang terjadi tanpa adanya kelainan ginekologik yang nyata. Dismenorea primer terjadi beberapa waktu setelah menarke, biasanya sesudah menarke, umumnya sesudah 12 bulan atau lebih.

Dysmenorrhea sekunder
Dysmenorrhea sekunder dikaitkan dengan penyakit pelvis organik, seperti endometriosis, penyakit radang pelvis, stenosis serviks, neoplasma ovarium atau uterus dan polip uterus. IUD juga dapat merupakan penyebab dismenorea ini. Dismenorea sekunder dapat disalahartikan sebagai dismenore primer atau dapat rancu dengan komplikasi kehamilan dini, terapi harus ditunjukkan untuk mengobati penyakit dasar.

Insiden Dysmenorrhea

Angka kejadian dysmenorrhea tipe primer di Indonesia adalah sekitar 54,89%, sedangkan sisanya adalah penderita dengan tipe sekunder.di Amerika Serikat diperkirakan hampir 90% wanita mengalami dysmenorrhea dan 10-15% diantaranya mengalami dysmenorrhea berat, yang menyebabkan mereka tidak mampu melakukan kegiatan apapun dan ini akan menurunkan kualitas hidup pada individu masing-masing.

Terapi Musik Mozart

Musik Mozart adalah musik klasik yang muncul 250 tahun yang lampau tepatnya pada tanggal 27 Januari 1756. Diciptakan oleh Joannes Chrysostomus Wolfgangus Theophilus dengan nama panggilan Wolfgang yang akhirnya lebih dikenal dengan nama Wolfgang Amadeus Mozart, dilahirkan di kota Salzburg-Austria. Dan meninggal dunia pada usia 35 tahun (5 Desember 1791 di Wina). Dalam masa hidupnya yang singkat itu, ia menghasilkan 626 karya musik.
Kita mungkin sudah tidak asing lagi dengan musik Mozart, kemampuannya untuk menyembuhkan berbagai penyakit, memberikan efek positif pada ibu hamil dan bayi yang masih didalam rahim ibunya, disamping itu musik Mozart juga terbukti bisa mengurangi penderitaan rasa nyeri yang dirasakan oleh seseorang, sehingga banyak tempat praktek Dokter Gigi di Eropa menggunakan musik Mozart dalam mengurangi nyeri pasien.
Waktu yang ideal untuk melakukan mendengarkan musik selama kurang lebih 30 menit hingga satu jam tiap hari, namun jika tidak memiliki waktu yang cukup 10 menit juga bisa menjadi efektif, karena selama waktu 10 menit musik telah membantu pikiran seseorang beristirahat.

Proses Penurunan Nyeri Menstruasi Dengan Terapi Musik Mozart.


Berdasarkan teori hormonal, dysmenorrhea didapatkan adanya peningkatan kadar PGE dan PGF2 alfa di dalam darahnya, yang akan merangsang miometrium dengan akibat terjadinya peningkatan kontraksi dan disritmi uterus. Akibatnya akan terjadi penurunan aliran darah dan oksigen ke uterus dan akan mengakibatkan iskemia. Sehingga muncul respon dari nosiseptor karena ada stimulus yang membahayakan dan memulai tranmisi neural dengan melepaskan substansi yang menghasilkan nyeri.
Sedangkan terapi musik Mozart dapat mengatasi nyeri menstruasi berdasarkan teori Gate control bahwa impuls nyeri dapat diatur atau dihambat oleh mekanisme pertahanan di sepanjang sistem saraf pusat. Teori ini mengatakan bahwa impuls nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka dan impuls dihambat saat sebuah pertahanan tertutup. Salah satu cara menutup mekanisme pertahanan ini adalah dengan merangsang sekresi endorfin yang akan menghambat pelepasan substansi P.
Musik Mozart sendiri juga dapat merangsang peningkatan hormon endorfin yang merupakan substansi sejenis morfin yang disuplai oleh tubuh. Sehingga pada saat neuron nyeri perifer mengirimkan sinyal ke sinaps, terjadi sinapsis antara neuron nyeri perifer dan neuron yang menuju otak tempat seharusnya substansi P akan menghantarkan impuls. Pada saat tersebut, endorfin akan memblokir lepasnya substansi P dari neuron sensorik, sehingga tranmisi impuls nyeri di medulla spinalis menjadi terhambat, sehingga sensasi nyeri menstruasi menjadi berkurang.
 
By :  Qttun

[+/-] Selengkapnya...

Leukemia

This item was filled under ,

1.1 Epidemologi

Insidensi Leukemia di Amerika adalah 13 per 100.000 penduduk /tahun ( Wilson, 1991 ) . Leukemia pada anak berkisar pada 3 – 4 kasus per 100.000 anak / tahun . Untuk insidensi ANLL di Amerika Serikat sekitar 3 per 200.000 penduduk pertahun. Sedang di Inggris, Jerman, dan Jepang berkisar 2 – 3 per 100.000 penduduk pertahun ( Rahayu, 1993, cit Nugroho, 1998 ) . Pada sebuah penelitian tentang leukemia di RSUD Dr. Soetomo/FK Unair selama bulan Agustus-Desember 1996 tercatat adalah 25 kasus leukemia akut dari 33 penderita leukemia. Dengan 10 orang menderita ALL ( 40% ) dan 15 orang menderita AML (60 %) ( Boediwarsono, 1998 ) .

1.2 Etiologi

Penyebab leukemia sampai sekarang belum jelas, tapi beberapa faktor diduga menjadi penyebab, antara lain :

Genetik

keturunan

Adanya Penyimpangan Kromosom

Insidensi leukemia meningkat pada penderita kelainan kongenital, diantaranya pada sindroma Down, sindroma Bloom, Fanconi’s Anemia, sindroma Wiskott-Aldrich, sindroma Ellis van Creveld, sindroma Kleinfelter, D-Trisomy sindrome, sindroma von Reckinghausen, dan neurofibromatosis ( Wiernik, 1985; Wilson, 1991 ) . Kelainan-kelainan kongenital ini dikaitkan erat dengan adanya perubahan informasi gen, misal pada kromosom 21 atau C-group Trisomy, atau pola kromosom yang tidak stabil, seperti pada aneuploidy .

Saudara kandung

Dilaporkan adanya resiko leukemia akut yang tinggi pada kembar identik dimana kasus-kasus leukemia akut terjadi pada tahun pertama kelahiran . Hal ini berlaku juga pada keluarga dengan insidensi leukemia yang sangat tinggi ( Wiernik,1985 ) .

Faktor Lingkungan

Beberapa faktor lingkungan di ketahui dapat menyebabkan kerusakan kromosom dapatan, misal : radiasi, bahan kimia, dan obat-obatan yang dihubungkan dengan insiden yang meningkat pada leukemia akut, khususnya ANLL ( Wiernik,1985; Wilson, 1991 ) .

Virus

Dalam banyak percobaan telah didapatkan fakta bahwa RNA virus menyebabkan leukemia pada hewan termasuk primata .

Penelitian pada manusia menemukan adanya RNA dependent DNA polimerase pada sel-sel leukemia tapi tidak ditemukan pada sel-sel normal dan enzim ini berasal dari virus tipe C yang merupakan virus RNA yang menyebabkan leukemia pada hewan. ( Wiernik, 1985 ) . Salah satu virus yang terbukti dapat menyebabkan leukemia pada manusia adalah Human T-Cell Leukemia . Jenis leukemia yang ditimbulkan adalah Acute T- Cell Leukemia . Virus ini ditemukan oleh Takatsuki dkk ( Kumala, 1999 ) .

Bahan Kimia dan Obat-obatan

a. Bahan Kimia

Paparan kromis dari bahan kimia ( misal : benzen ) dihubungkan dengan peningkatan insidensi leukemia akut, misal pada tukang sepatu yang sering terpapar benzen. ( Wiernik,1985; Wilson, 1991 )

Selain benzen beberapa bahan lain dihubungkan dengan resiko tinggi dari AML, antara lain : produk – produk minyak, cat , ethylene oxide, herbisida, pestisida, dan ladang elektromagnetik ( Fauci, et. al, 1998 ) .

4. Obat-obatan

Obat-obatan anti neoplastik ( misal : alkilator dan inhibitor topoisomere II ) dapat mengakibatkan penyimpangan kromosom yang menyebabkan AML . Kloramfenikol, fenilbutazon, dan methoxypsoralen dilaporkan menyebabkan kegagalan sumsum tulang yang lambat laun menjadi AML ( Fauci, et. al, 1998 ) .

5. Radiasi

Hubungan yang erat antara radiasi dan leukemia ( ANLL ) ditemukan pada pasien-pasien anxylosing spondilitis yang mendapat terapi radiasi, dan pada kasus lain seperti peningkatan insidensi leukemia pada penduduk Jepang yang selamat dari ledakan bom atom. Peningkatan resiko leukemia ditemui juga pada pasien yang mendapat terapi radiasi misal : pembesaran thymic, para pekerja yang terekspos radiasi dan para radiologis .

6. Leukemia Sekunder

Leukemia yang terjadi setelah perawatan atas penyakit malignansi lain disebut Secondary Acute Leukemia ( SAL ) atau treatment related leukemia . Termasuk diantaranya penyakit Hodgin, limphoma, myeloma, dan kanker payudara . Hal ini disebabkan karena obat-obatan yang digunakan termasuk golongan imunosupresif selain menyebabkan dapat menyebabkan kerusakan DNA

 

1.3 Klasifikasi Leukemia Akut

Berdasarkan klasifikasi French American British ( FAB ), leukemia akut terbagi menjadi 2 ( dua ), Acute Limphocytic Leukemia ( ALL ) dan Acute Myelogenous Leukemia (AML).

ALL sendiri terbagi menjadi 3, yakni :

- L1

Sel-sel leukemia terdiri dari limfoblas yang homogen dan L1 ini banyak menyerang anak-anak.

- L2

Terdiri dari sel sel limfoblas yang lebih heterogen bila dibandingkan dengan L1. ALL jenis ini sering diderita oleh orang dewasa.

- L3

Terdiri dari limfoblas yang homogen, dengan karakteristik berupa sel Burkitt. Terjadi baik pada orang dewasa maupun anak-anak dengan prognosis yang buruk .

AML terbagi menjadi 8 tipe :

- Mo ( Acute Undifferentiated Leukemia )

Merupakan bentuk paling tidak matang dari AML, yang juga disebut sebagai AML dengan diferensiasi minimal .

- M1 ( Acute Myeloid Leukemia tanpa maturasi )

Merupakan leukemia mieloblastik klasik yang terjadi hampir seperempat dari kasus AML. Pada AML jenis ini terdapat gambaran azurophilic granules dan Auer rods. Dan sel leukemik dibedakan menjadi 2 tipe, tipe 1 tanpa granula dan tipe 2 dengan granula, dimana tipe 1 dominan di M1 .

- M2 ( Akut Myeloid Leukemia )

Sel leukemik pada M2 memperlihatkan kematangan yang secara morfologi berbeda, dengan jumlah granulosit dari promielosit yang berubah menjadi granulosit matang berjumlah lebih dari 10 % . Jumlah sel leukemik antara 30 – 90 %. Tapi lebih dari 50 % dari jumlah sel-sel sumsum tulang di M2 adalah mielosit dan promielosit .

- M3 ( Acute Promyelocitic Leukemia )

Sel leukemia pada M3 kebanyakan adalah promielosit dengan granulasi berat, stain mieloperoksidase + yang kuat. Nukleus bervariasi dalam bentuk maupun ukuran, kadang-kadang berlobul . Sitoplasma mengandung granula besar, dan beberapa promielosit mengandung granula berbentuk seperti debu . Adanya Disseminated Intravaskular Coagulation ( DIC ) dihubungkan dengan granula-granula abnormal ini .

- M4 ( Acute Myelomonocytic Leukemia )

Terlihat 2 ( dua ) type sel, yakni granulositik dan monositik , serta sel-sel leukemik lebih dari 30 % dari sel yang bukan eritroit. M4 mirip dengan M1, dibedakan dengan cara 20% dari sel yang bukan eritroit adalah sel pada jalur monositik, dengan tahapan maturasi yang berbeda-beda.

Jumlah monosit pada darah tepi lebih dari 5000 /uL. Tanda lain dari M4 adalah peningkatan proporsi dari eosinofil di sumsum tulang, lebih dari 5% darisel yang bukan eritroit, disebut dengan M4 dengan eoshinophilia. Pasien–pasien dengan AML type M4 mempunyai respon terhadap kemoterapi-induksi standar.

- M5 ( Acute Monocytic Leukemia )

Pada M5 terdapat lebih dari 80% dari sel yang bukan eritroit adalah monoblas, promonosit, dan monosit. Terbagi menjadi dua, M5a dimana sel monosit dominan adalah monoblas, sedang pada M5b adalah promonosit dan monosit. M5a jarang terjadi dan hasil perawatannya cukup baik.

- M6 ( Erythroleukemia )

Sumsum tulang terdiri lebih dari 50% eritroblas dengan derajat berbeda dari gambaran morfologi Bizzare. Eritroblas ini mempunyai gambaran morfologi abnormal berupa bentuk multinukleat yang raksasa. Perubahan megaloblastik ini terkait dengan maturasi yang tidak sejalan antara nukleus dan sitoplasma . M6 disebut Myelodisplastic Syndrome ( MDS ) jika sel leukemik kurang dari 30% dari sel yang bukan eritroit . M6 jarang terjadi dan biasanya kambuhan terhadap kemoterapi-induksi standar .

- M7 ( Acute Megakaryocytic Leukemia )

Beberapa sel tampak berbentuk promegakariosit/megakariosit.

( Yoshida, 1998; Wetzler dan Bloomfield, 1998 )

1.4 Manifestasi Klinis leukemia Akut

Gejala klinis yang paling sering dijumpai adalah :AnemiaDemamPerdarahan , purpura, epistaksis ( sering ), hematoma, infeksi oropharingeal, pembesaran nodus limfatikus, lemah ( weakness ), faringitis, gejala mirip flu ( flu like syndrome ) yang merupakan manifestasi klinis awal, splenomegali, hepatomegali, limfadenopati, ikterus ( Cawson 1982; De Vita Jr.,1985, Archida, 1987; Lister, 1990; Rubin,1992 ) .

Manifestasi dalam mulut penderita leukemia akut akan dibahas pada

1.5 Patogenesa Leukemia Akut

Manifestasi klinis penderita leukemia akut disebabkan adanya penggantian sel pada sumsum tulang oleh sel leukemik , menyebabkan gangguan produksi sel darah merah . Depresi produksi platelet yang menyebabkan purpura dan kecenderungan terjadinya perdarahan . Kegagalan mekanisme pertahanan selular karena penggantian sel darah putih oleh sel lekemik, yang menyebabkan tingginya kemungkinan untuk infeksi . Infiltrasi sel-sel leukemik ke organ-organ vital seperti liver dan limpa oleh sel-sel leukemik yang dapat menyebabkan pembesaran dari organ-organ tersebut . ( Cawson, 1982 )

 

1.6 Diagnosa Leukemia Akut

Penegakan diagnosa leukemia akut dilakukan dengan berdasarkan pada anamnesa , pemeriksaan klinis , pemeriksaan darah dan pemeriksaan sumsum tulang pada beberapa kasus . Pada pemeriksaan darah, sel darah putih menunjukkan adanya kenaikan jumlah, penurunan jumlah, maupun normal, pemeriksaan trombosit menunjukkan penurunan jumlah, pemeriksaan hemoglobin menunjukkan penurunan nilai ( De Vita Jr, 1993 ), pemeriksaan sel darah merah menunjukkan penurunan jumlah dan kelainan morfologi ( Cawson, 1982 ;De Vita Jr, 1993 ), adanya sel leukemik sejumlah 5 % cukup untuk mendiagnosa kelainan darah sebagai leukemia, tapi sering dipakai nilai yang mencapai 25 % atau lebih ( Altman J.A.,1988 cit De Vita Jr, 1993 ) . Pemeriksaan dengan pewarnaan Sudan Black, PAS, dan mieloperoksidase untuk pembedaan AML dan ALL, ( De Vita Jr, 1993 ; Boediwarsono, 1996 ; Yoshida, 1996 ) .

Kelainan Rongga Mulut Yang Berhubungan Dengan Leukemia Akut

Kelainan rongga mulut disini adalah kelainan – kelainan yang timbul pada rongga mulut penderita leukemia akut, diantaranya adalah :

Pembengkakan gusi

Pembengkakan gusi berupa pembengkakan papila dan margin gusi. Pembengkakan ini terjadi akibat infiltrasi sel leukemik di dalam lapisan retikular mukosa mulut , di buktikan dari hasil biopsi dan FNAB mukosa rongga mulut ( Nugroho, 1991 ; Berkovitz 1995 ) . Mukosa mulut yang mengalami infiltrasi sel leukemik adalah mukosa yang sering mengalami trauma minor, misal mukosa sepanjang garis oklusi, palatum, lidah dan sudut mulut ( Rusliyanto, 1986; Glickman, 1958 cit Berkovitz 1995 ) . Gejala ini ditemukan pada 14,28 % penderita leukemia ( Archida, 1987 ) dan khas pada leukemia monositik dan mielomonositik akut ( Rusliyanto, 1980; Wiernik, 1985 ; Berkovitz, 1995 ) . Pembesaran gusi ini juga diduga diakibatkan oleh inflamasi kronis yang disebabkan oleh plak, berupa inflamasi karena gingivitis kronis derajat ringan yang juga ditemui pada gusi yang sehat secara klinis ( Widjaja, 1992; Moughal et al, 1991 cit Berkovitz 1995 ) .

Perdarahan

Perdarahan pada kasus leukemia bisa berupa petekie, ekimosis maupun perdarahan spontan ( Lister, 1990 ) . Sering terjadi pada kasus-kasus leukemia akut yang disertai penurunan jumlah trombosit ( trombositopeni ) serta keabnormalan morfologi dan fungsi trombosit ( Widmann, 1995 ) . Trombosit merupakan komponen penting dalam proses pembekuan darah, yaitu berfungsi untuk membentuk sumbat trombosit . Sumbat trombosit berasal dari agregrasi trombosit yang menutup robekan pembuluh darah . Trombosit juga berperan terhadap aktivasi fibrinogen menjadi fibrin yang merupakan sumbat tetap dalam proses pembekuan darah . Penurunan jumlah trombosit ( trombositopeni ) serta keabnormalan morfologi dan fungsi trombosit akan mengakibatkan kecenderungan perdarahanan ( Guyton, 1994; Ganiswara, 1995 ) . Perdarahan diakibatkan juga karena kerusakan pembuluh darah . Kerusakan pembuluh darah diakibatkan oleh rupturnya kapiler . Darah meningkatnya viskositasnya akibat adanya sel leukemik dengan konsentrasi tinggi . Kondisi ini menyebabkan tekanan intra kapiler darah meningkat . aliran darah yang seharusnya ke sisi bertekanan rendah terhalang karena infiltrasi sel leukemik yang membentuk emboli . Penghentian aliran darah dengan viskositas dan tekanan tinggi ini menyebabkan pembuluh darah kapiler ruptur ( Wiernik, 1985 ) . Kebersihan rongga mulut yang buruk, jaringan periodontal yang tidak sehat dan iritasi lokal diduga menjadi penyebab lain dari perdarahan rongga mulut ( Wezler, 1991; Nugroho 1998 ) . Kondisi lokal rongga mulut yang buruk, dapat menyebabkan keradangan dan berakibat mudah terjadi perdarahan .

Ulserasi

Ulserasi pada rongga mulut penderita leukemia akut diduga disebabkan karena adanya kegagalan mekanisme pertahanan tubuh . Neutrofil mengalami penurunan fungsi berupa kegagalan fagositosis dan migrasi . Pada kondisi ini trauma yang kecil pun dapat menyebabkan terjadinya ulser ( Rusliyanto, 1986 ) .

Jumlah sel leukemik yang banyak pada darah tepi dapat menyebabkan statis pembuluh darah kecil sehingga terjadi anemia ( Burket, 1940 cit Berkovitz , 1995, Sinrod, 1957 cit Berkovitz , 1995 ; Bodey, 1971 cit Berkovitz , 1995 ; Segelman dan Doku, 1977, cit Berkovitz , 1995 ) selanjutnya terjadi nekrosis dan ulkus ( Rusliyanto, 1986 ) .

Limfadenopati

limfadenopati berupa pembesaran kelenjar limfe, terjadi akibat adanya infiltrasi sel leukemik ke dalam kelenjar limfe ( Lister, 1990; Rusliyanto, 1986; Berkovitz, 1995; ) dan juga diduga adalah limfadenitis reaktif sebagai proses pertahanan tubuh terhadap tubuh terhadap radang yang merupakan proses fisiologis tubuh ( Rubbins dan Khumar, 1992 ) . Menurut Guyton et. al. ( 1994 ) limfadenopati ini juga terjadi akibat adanya proses hematopoeisis ekstra medular pada nodus limfatikus . Hematopoesis yang pada usia dewasa seharusnya terjadi pada sumsum tulang, terganggu karena sel leukemik dari proses multiplikasi sel prekursor leukemik mempunyai masa hidup yang lebih lama, menginfiltasi sumsum tulang serta mendesak sel-sel normal . Pernyataan Guyton ini didukung oleh W.F. Ganong ( 1995 ) yang menyatakan bahwa hematopoesis ekstra medular dapat terjadi pada usia dewasa akibat adanya penyakit yang menyebabkan fibrosis atau kerusakan sumsum tulang . Pembesaran ini mampu mencapai ukuran sebesar telur ayam ( Pitojo S, 1992 ) .

Infeksi

Infeksi sangat sering terjadi pada penderita leukemia akut, baik infeksi jamur, bakteri maupun infeksi virus . Kondisi ini diakibatkan oleh kegagalan mekanisme pertahanan tubuh untuk menanggulangi infeksi . Pada penderita leukemia akut terjadi neutropenia ( Barret, 1986 ) dan neutrofil itu sendiri mengalami penurunan fungsi berupa kegagalan fagositosis dan migrasi ( Rusliyanto, 1986; Berkovitz, 1995 ) . Infeksi jamur yang paling banyak dijumpai adalah infeksi jamur Candida Albicans yang mencapai 60 % pada penderita ALL ( Reskiasih, 2000 ) . Infeksi jamur kandida secara klinis dapat dijumpai berupa lesi putih maupun lesi merah . Lesi putih berupa warna yang lebih putih dari jaringan disekelilingnya, lebih tinggi dari sekitarnya, lebih kasar atau memiliki tekstur yang berbeda dari jaringan normal yang ada di sekelilingnya . Lesi putih -ini bisa merupakan lesi yang keratotik atau non keratotik berdasarkan kemudahan diangkat dengan gosokan atau kerokan lembut . Lesi yang sulit / tidak bisa diangkat dengan gosokan atau kerokan lembut dianggap sudah melibatkan penebalan epitel mukosa dan mungkin sebagai akibat dari mengangkatnya ketebalan lapisan yang berkeratosis ( hiperkeratosis ) dan disebut lesi keratotik. Lesi yang mudah diangkat dan seringkali menimbulkan suatu daerah yang kasar atau sedikit kemerahan dari mukosa bisa berupa debris atau peradangan pada pseudomembranous mukosa mulut yang disebut lesi non keratotik. Lesi akibat infeksi jamur Kandida seringkali dikaitkan dengan keradangan pada pseudomembranous mukosa atau ikut berperan dalam etiologi lesi hiperkeratotik walaupun dapat berupa lesi putih yang disertai lesi hipokeratotik . Infeksi jamur yang lain dapat berupa angular cheilitis, dan median rhomboid glossitis ( Brightment, 1993 ) . Infeksi bakteri gram negatif yang menyebabkan pneumonia sangat sering terjadi . Dan satu-satunya tanda klinis yang biasa dijumpai adalah demam ( Wiernik; 1985 ) . Infeksi virus yang sering ditemui adalah infeksi Herpes Zoster yang mempunyai prosentase cukup tinggi yaitu 40 % pada penderita leukemia akut jenis AML dan 30 % leukemia akut jenis ALL ( Barret,1986 ) . Salah satu komplikasi infeksi, yaitu sepsis merupakan penyebab kematian terbesar pada penderita leukemia akut yang mencapai 52,63 % ( Archida, 1987 ) .

[+/-] Selengkapnya...

KERACUNAN MAKANAN

This item was filled under ,

Pendahuluan

Kontaminasi makanan dengan zat kimia di Indonesia sampai saat ini amat sukar didiagnosa, karena fasilitas leboratorium yang belum memadai untuk maksud tersebut. Pentingnya pemeriksaan laboratorium disini dilihat dari pengalaman Sulianti, dimana dari 131 kasus keracunan makanan, 68 orang diantaranya meninggal setelah pemeriksaan laboratorium ternyata menunjukan adanya C. wellchii merupakan penyebabnya. Jenis makanan yang sering menimbulkan keracunan di Indonesia adalah jengkol, singkong, atau jamur.

Keracunan makanan dapat disebabkan oleh :

· Makanan yang tercemar zat kimia seperti peptisida, lapisan logam dari kaleng makanan atau akibat fumigasi ruangan.

· Mikroba yang mencemari makanan (Salmonela, Clostridium botulinum dan lain-lain).

· Zat kimia tertentu yang ditambahkan pada makanan sebagai penyedap, pemanis dan pengawet.

· Makanan itu sendiri secara alamiah sudah mengandung zat kimia, misalnya asam jengkolat, jamur Aspergilus flavus mengandung aflatoksin dan jamur Amanita muscaria mengandung muskarin.

KERACUNAN JENGKOL

Keracunan jengkol paling sering dilaporkan diantara penyebab keracunan makanan di Indonesia. Salah satu sebab dari keadaan ini adalah karena jengkol termasuk sayuran yang banyak digemari oleh kalangan tertentu masyarakat Indonesia. Biji jengkol (Pithelobium lobatum) mengandung asam amino (asam jengkolat) dengan rumus bangun sebagai berikut :

S -- CH3 --- CHNH2 --- COOH

CH 2

S --CH3 --- CHNH2 --- COOH

Menurut VAN VEEN dan HYMAN yang dikutib oleh R. WIRATMAJA, dkk. jengkol mengandung 2 % asal jengkolat.

Untuk mendiagnosis keracunan jengkol tidak sulit, biasanya sesudah makan jengkol timbul sakit perut, muntah, kolik, disuria, oliguria, sampai anuria, hematuria, uremia (gagal ginjal akut); serta bau jengkol yang berasal dari mulut, hawa napas dan urine. Kristal asam jengkol dapat menyumbat uretra yang menimbulkan adanya infiltrat dan abses di penis, skrotinum, perineum dan sekitarnya. Terjadinya kristal (hablur) akibat asal jengkolat pada saluran kemih diduga karena pH urin bersifat asam. Rupa-rupanya terjadi kristal-kristal pada saluran kemih inilah yang menjadi sebab sebagian besar gejala tersebut di atas.

Pengobatan keracunan jengkol

1. Jika gejala penyakit ringan (muntah, sakit perut / pinggang saja) pasien tidak perlu dirawat, dan cukup dinasehati untuk banyak minum serta memberikan natrium bikarbonat saja.

Bila gejala penyakit berat (oliguria, hematuria, anuria, tidak dapat minum) maka pasien perlu dirawat dengan diberikan infus natrium bikarbonat dalam larutan Glukosa 5 %.

2. Anjuran yang dapat diberikan untuk mencegah timbulnya keracunan jengkol adalah dengan dilarang makan jengkol

3. Mengusahakan cara pengolahan yang baik (dimasak, digoreng, dibakar, ditanam lebih dahulu sebelum dimakan)

Cara ini sukar dilaksanakan mengingat tidak mudahnya mengubah kebiasaan makan seseorang.

KERACUNAN SINGKONG

Singkong (manihot utilissima) merupakan bahan makanan yang mengandung kalori seperti beras. Perbedaannya adalah singkong mengandung protein 1 % sedangkan beras mengandung protein 7,5 %. Singkong mengandung linamarin, yaitu suatu glikosida yang mengikat sianida. Linamarin dapat mempengaruhi “enzym” yang biasanya terdapat dalam jaringan tumbuh-tumbuhan sehingga melepaskan sianida bebas yang dapat menguap jika dipanaskan. Tiap jenis singkong mengandung jenis HCN berbede-deda, yang dapat dibagi dalam dua golongan :

1. Singkong tidak beracun, dimana kadar HCN 50 - 100 mg / kg berat singkong segar.

2. Singkong sangat beracun, dimana kadar HCN lebih dari 100 mg / kg berat singkong segar.

Kadar HCN paling tinggi adalah pada bagian paling luar ubi. Daum singkong juga mengandung HCN. Untuk mgnhindari keracunan singkong dapat dilakukan dengan :

1. Memilih parietas singkong yang mengandung sedikit HCN.

2. Mempersiapkan singkong sebelum dimasak, misalnya dengan mengiris-iris lebih dahulu kemudian direndam atau dialiri air selama 12 jam. Cara ini akan menghilangkan HCN sebanyak 67 % dari umbinya. Merebus daun singkong akan menghilangkan 95 % HCN.

Gejala keracunan akut singkong adalah sebagai berikut :

1. Gangguan saluran cerna seperti mual, muntah dan diare

2. Sesak napas dan sianois

3. Apatis, kemudian lambat laun mengalami koma dan

4. Renjatan (shock)

Pengobatan dalam menanggulangi keracunan singkong ialah :

1. Mencuci lambung, membuat pasien muntah, bila makanan diperkirakan masih ada dalam lambung (kurang dari 4 jam sesudah makan singkong)

2. Berikan natrium nitrat dan natrium sulfat (lihat antidotum)

3. Berikan oksigen

4. Natrium nitrat dan natrium tiosulfat merupakan antidotum keracunan sianida yang secara dramatis akan menghilangkan gejala-gejala keracunan singkong dalam waktu singkat.

KERACUNAN BONGKREK

Keracunan ini biasanya dari tempe bongkrek maupun ampasnya (bahan sisa minyak kelapa), umumnya jari jamur golongan rhizopus (kurang beracun), namun kemudian mengalami superkontaminasi jamur : “ Pseudomonas cocovenans” yang membentuk racun toksoflavin (dari gliserin) dan asam bongkrek (dari asam lemak) yang tahan terhadap pemanasan.

Gambaran klinik

· Inkubasi 1 - 4 jam

· Sakit kepala

· Muntah / mual

· Depressi napas dan

· Coma

Terapi :

· Atasi gejala yang ada

· Sulfas atropin mungkin berguna karena antidotum spesifik belum ada

KERACUNAN MAKANAN KALENG

· Pada kaleng yang sudah rusak / menggelembung kemasannya.

· Inkubasi beberapa jam

· Racun berasal dari bakteri Clostridium Perfrigens


DAFTAR KEPUSTAKAAN

Brunner / Suddart, Textbook of Medical -Surgical Nursing, Fourth Edition, 2..B. Lippiocott Company, Philadelphia, Toronto. 1980

Naek L. Tobing, Ectasy dan Seks, Kompas, Sabtu 19 Oktober 1996, hal 4.

Puernawan Zunadi, et all, Kapita Selekta Kedokteran, edisi ke -2, Media Aesculapius, FKUI, 1982, hal 748 - 749.

[+/-] Selengkapnya...

KERACUNAN ECTASY

This item was filled under ,

Apakah Ectasy itu ?

Dari pengertian bahasa Ectasy berarti suatu keadaan kenikmatan yang mendalam atau kegembiraan emosional yang tinggi. Jadi dengan menamakan pil tersebut ectasy, maka orang pun berpikir besar kemungkinan pil itu akan memberikan kenikmatan dan kegembiraan seperti namanya itu.

Secara farmakologis pil XTC adalah Metelin Dioxy Meth Amphetemin (lalu dipendekkan dengan MDMA). Dari namanya, jelaslah MDMA suatu turunan Amphetamin. Kebetulan Amphetamin ini mempunyai banyak turunan. Dari dulu berbagai turunannya dipakai sebagai obat Asthm. Yang lain dipakai sebagai obat pelangsing tubuh. Tetapi ada juga turunannya yang umumnya dipakai untuk merangsang susunan saraf atau psikomotor sehingga si pemakai akan merasa lebih jaga, lebih kuat dan tahan bekerja.

Bagaimana efek Ectasy ?

Secara kimia saraf, Amphetamin ini bekerja pada sistem Limbik otak yakni pusat emosi yang akhirnya menimbulkan perasaan gembira, waspada dan energik. Sedangkan dari sudut susunan saraf otonom yakni simpatik. Saraf simpatik ini mensarafi organ-organ yang membuat manusia menjadi aktif, misalnya meningkatkan denyut jantung, tekanan darah juga meningkat, pernapasan lebih cepat. Jadi boleh dikatakan seluruh tubuh menjadi lebih aktif karena obat tersebut. Sebaliknya susunan saraf otonom yang lain, yakni parasimpatik, yang terutama mempersarafi organ-organ sistem pencernaan. Karena itulah dengan memakai Amphetamin, maka orang menjadi energik,waspada serta gembira, tetapi karena parasimptis menjadi pasif, sistem pencernaan menjadi berhenti. Orang akan bekerja jauh lebih lama dari biasa dan tidak merasa lapar. Karena itulah Amphitamin banyak dipakai untuk obat pelangsing tubuh.

Sayangnya efek sampingnya pun banyak, tekanan darah bisa meningkat, jantung bedebar-debar, dan sering susah tidur. Sesudah obatberhentipun, ada orang yang terus susah tidur, ada orang yang menjadi mengantuk terus. Tetapi yang pasti nafsu makan meningkat kembali dan orangpun menjadi gemuk kembali. Karena itulah belakang ini, Amphetamin tidak banyak lagi dipakai sebagai obat pelangsing, karena efek samping di atas dan menimbulkan frustasi bila obat dihentikan.

XTC menimbulkan kenikmatan bagi pemakainya. Ada rasa nikmat, gembira, percaya diri, jaga terus tanpa mengantuk. Secara fisik, badan akan bergerak-gerak dan semakin tinggi dosis, gerakan-gerakan makin cepat pula dan kadang-kadang tidak terkontrol lagi, kepala geleng-geleng ke kiri dan ke kanan dan gigi bisa gemeretak.

Dengan gabungan efek emosi dan fisik di atas, maka pemakaian XTC memang sesuai untuk menari dan terutama berdisco yang diserta dengan House Music.

Dari sudut emosional, memang XTC memberikan keintiman antara pria dan wanita. Mereka merasa bersatu walapun belum kenal sebelumnya.

Tetapi dengan stimulasi saraf simpatis dan istirahatnya saraf parasimpatis, maka organ-organ yang dipersarafi saraf parasimpatis akan in-aktif semuanya. Organ ini terutama adalah sistem pencernaan dan sistem respon seks. Pada saat pemakaian dalam pengaruh XTC, maka seluruh organ seks akan in-aktif . Ujung-ujung saraf sentuhan yang pada saat orang bergairah akan memberi kenikmatan seks tidak terjadi lagi. Jadi walau organ-organ seks disentuh tak ada rasa nikmat. Walau tinggi, fantasi keintiman ditambah rasa senang antara pemakai, tetapi organ seksnya tidak bekerja saat itu. Ini berlaku untuk wanita maupun pria. Semua saraf-saraf seks tidak akan bekerja saat tripping. Pada wanita organ-organ seks berongga maka bila dipaksakan, masih bisa coitus, tetapi tidak akan merasakan kenikmatan. Hanya perasaannya yang merasa menyatu. Bila pengaruh XTC telah habis, barulah ada kemungkinan respon fisiologis seks bisa bekerja lagi.

Suatu waktu akan terjadi overdosis dengan berbagai gejala seperti tekanan darah yang meninggi, denyut jantung yang terlalu cepat, badan yang kekeringan dan akhirnya bisa meninggal

MANIFESTASI KLINIS KERACUNAN AMPHETAMIN

Gejalanya :

· Agresif

· Iritabilita, insomnia

· Salah persepsi tentang pandangan, halusinasi pendengaran

· Hiperaktif, bicara berulang-ulang, euforia

· Pupil dilatasi

· Peningkatan nadi dan tekanan darah

· Paranoid

· Halusinasi, suhu tubuh meningkat

· Kejang, coma dan meninggal.

Penatalaksanaan

1. Coba bicarakan / komunikasikan dengan pasien : sering munculnya paranoid psikosis akibat pemakaian Amphetamin.

Pasien mengalami kerusakan / gangguan : weas of reference, halusinasi penglihatan dan pendengaran, perubahan body image, hiperaktifitas, dan eksitasi.

2. Digunakan obat yang spesifik untuk mengurangi agitasi

Biasanya dalam 24 jam setelah pasien minum Amphetamin akan mulai tidur terus-menerus.

Pasien relatif nyaman dan tenang, pasien menjadi lebih agresif dan sampai pada tahap panik.

3. Pemeriksaan Amphetamin dalam urine

4. Menempatakan pasien dalam lingkungan yang memudahkan perawat melakukan observasi terhadap kemungkinan pasien melakukan bunuh diri.

[+/-] Selengkapnya...

BATUK DARAH

This item was filled under ,

I. Pendahuluan

Batuk darah adalah suatu gejala yang paling penting pada penyakit paru karena :

- adanya bahaya potensial terhadap perdarahan yang gawat

- hampir selalu hemoptysis disebabkan oleh penyakit bronkopulmonal

Oleh sebab itu perlu dibuktikan apakah benar bahwa darah berasal dari saluran pernafasan bagian bawah

- apakah benar-benar batuk darah dan bukan muntah darah

II. Definisi

Batuk darah adalah darah atau dahak bercampur darah yang dibatukkan yang berasal dari saluran pernafasan bagian bawah (mulai glotis ke arah distal}

_ batuk darah adalah suatu keadaan menakutkan / mengerikan yang menyebabkan beban mental bagi penderita dan keluarga penderita sehingga menyebabakan takut untuk berobat ke dokter .

_ penderita menahan batuk karena takut kehilangan darah yang lebih banyak sehingga menyebabkan penyumbatan karena bekuan darah.

_sebetulnya sudah ada penyakit dasar tetapi keluhan penyakit tidak mendorong berobat ke dokter.

_batuk darah pada dasarnya akan berhenti sendiri asal tidak ada robekan pembuluh darah,berhenti sedikit-sedikit pada pengobatan penyakit dasar.

III Etiologi

Berdasar etiologi maka dapat digolongkan :

1. Batuk darah idiopatik.

2. Batuk darah sekunder.

Ad 1. Batuk darah idiopatik.

Yaitu batuk darah yang tidak diketahui penyebabnya:

_ insiden 0,5 sampai 58% {+ 15 %}

_ pria :wanita = 2 : 1

_ umur 30- 50 tahun kebanyakan 40-60 tahun

_ berhenti spontan dengan suportif terapi.

Ad 2. Batuk darah sekunder.

Yaitu batuk darah yang diketahui penyebabnya

a. Oleh karena keradangan , ditandai vascularisasi arteri bronkiale > 4% {normal 1%}

TB è batuk sedikit-sedikit èmasif darah melulu, bergumpal.

Bronkiektasis ®campur purulen

Apses paru ®campur purulen

Pneumonia®warna merah bata encer berbuih

Bronkitis®sedikit-sedikit campur darah atau lendir

b. Neoplasma

_ karsinoma paru

_ adenoma

c. Lain-lain:

_ trombo emboli paru – infark paru

_ mitral stenosis

_ kelainan kongenital aliran darah paru meningkat

@ ASD

@ VSD

_trauma dada

¨tumpul: perlukaan oleh costa

¨tajam : tusukan benda tajam

_hemorhagic diatese

_hipertensi pulmonal primer

Pembagian lain

Berdasar jumlah darah:

PURSEL : 1. Blood streak

3. minimal 1-30 cc

4. mild 30-150 cc

5. moderate 150-500 cc

6. massive 600 cc

JOHNSON : 1 singgle : kurang dari 7 hari

2. Repeated : lebih dari 7 hari dengan interfal 2-3 hari

3. Frank : darah melulu tanpa dahak

RSUD Dr. Sutomo SMF paru > 90% disebabkan :

1. TB Paru

2. Karsinoma paru

3. Bronkiektasis

4. Mitral stenosis

Patogenesis

Tergantung dr penyakit yang mendasarinya.

Gejala klinis

Kita harus memastikan bahwa perdarahan dari nasofaring ,dengan cara membedakan ciri-ciri sebagai berikut :

· Batuk darah

  • Darah dibatukkan dengan rasa panas di tenggorokan
  • Darah berbuih bercampur udara
  • Darah segar berwarna merah muda
  • Darah bersifat alkalis
  • Anemia kadang-kadang terjadi
  • Benzidin test negatif

· Muntah darah

  • Darah dimuntahkan dengan rasa mual
  • Darah bercampur sisa makanan
  • Darah berwarna hitam karena bercampur asam lambung
  • Darah bersifat asam
  • Anemia seriang terjadi
  • Benzidin test positif

· Epistaksis

  • Darah menetes dari hidung
  • Batuk pelan kadang keluar
  • Darah berwarna merah segar
  • Darah bersifat alkalis
  • Anemia jarang terjadi
Anamnesis

1. Dari anamnesis dipastikan asal darah

2. Jumlah darah yang keluar, bentuk,warna,lama.

3. Penyakit batuknya

4. Disertai nyeri dada

5. Hubungan dengan kerja,istirahat,posisi penderita

6. Hubungan penyakit masa lalu

7. Anamnesa merokok

Pemeriksaan fisik

# Panas, berarti ada proses peradangan

# Auskultasi: terdengar bunyi Rales

- Kemungkinan menujukkan lokasi

- Ada aspirasi

- Ronki menetap, wheezing lokal, kemungkinan penyumbatan oleh : Ca, bekuan darah

- Friction rub:emboli paru ,infark paru

# Clubbing finger: bronkiektasis, neoplasma

Laboratorium:

- Hb

- Faal homeostasis dll menurut dugaan

Radiologi :

- tergantung etiologi : X-photo thorak, PA Lateral

CT- scan

Pemeriksaan lain khusus :

- anamnesa : memastikan asal darah, berulang, jumlah, warna, menahun dll

- pemeriksaan fisik : kemungkinan penyebab

- X-photo thorak : PA/Lateral, brokografi dll

- Pemeriksaan sputum bakteriologi, sitologi

- Bronkoskopi

Komplikasi :

- Bahaya utama batuk darah adalah terjadi penyumbatan trakea dan saluran nafas, sehingga timbul sufokasi yang sering fatal. Penderita tidak nampak anemis tetapi sianosis, hal ini sering terjadi pada batuk darah masif (600-1000 cc/24 jam)

- Pneumonia aspirasi merupakan salah satu penyulit yang terjadi karena darah terhisap kebagian paru yang sehat

- Karena saluran nafas tersumbat, maka paru bagiandistal akan kolaps dan terjadi atelektasis

- Bila perdarahan banyak, terjadi dalam waktu lama.

Penatalaksanaan

Tujuan Umum :

1. membebaskan jalan nafas

2. mencegah aspirasi

3. menghentikan perdarahan dan pengobatan penyakit dasar.

Konservative

~ Hemoptoe sedikit (<200ml/24jam} dapat berhenti

-obat: codein, doveri, penyakit dasar

- diminta tenang, istirahat total, kalau perlu obat penenang

~ Tidur setengah duduk:

13-31% hemopthoe berhenti sendiri MRS 1-4 hari,

87 % berhenti sendiri setelah 4hari MRS

~ Infus atau transfusi

Batuk darah masif:

- tidur trendelenburg ke arah sisi yang sakit{agar tidak aspirasi ke paru yang sehat}

- infuse, penghisapan darah , pengambilan bekuan

- waktu dulu setelah penderita agak tenang

kolaps terapi: pnumoperitonium, pneumothoraks artifisial, operasi N. phrenicus

! Tindakan-tindakan lebih agresif

-rigid bronkoskopi,jalan nafas terbuka dan penghisapan darah lebih mudah

-FOB untuk suction darah dan mencari lokasi perdarahan + dengan endotrakeal tube untuk keluar.

Masuk FOB lebih mudah

-pasang endotrakeal tamponade {balon kateter tamponade}

- reseksi paru

-embolisasi a. bronkialis

Prognose

- hemopthoe<200ml/24jam®supportifve baik

- profuse massive >600cc/24jam®prognose jelek 85% meninggal

* dengan bilateral far advance

* faal paru kurang baik

* terdapat kelainan jantung

DAFTAR PUSTAKA

- Adam F. D. Physical Diagnosis Edition 1958

- Prof. dr. Hood Alsegaff , dr. H. Abdul mukti, DASAR-DASAR ILMU

PENYAKIT PARU, 1995

[+/-] Selengkapnya...